Selasa, 07 Juli 2015

Muamalah Istishna'

MAKALAH MATERI PAI 2 (MUAMALAH)

ISTISHNA’

Disusun dalamrangka memenuhi tugas mata kuliahMateri PAI 2 (Muamalah)
Diampu oleh Bapak Gufron Effendi Mustofa,M.Pd.I




Kelompok 8
1.    Fitrotun Nahdiyah
2.    Desi Wahyuni
3.    Amin Alifatuloh

                                                                 Semester : III

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN
DI WONOSOBO
2014

KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT,karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Istishna’. Makalah ini di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Materi PAI 2 (Muamalah).
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada :
Bapak Dosen Mata Kuliah Materi PAI 2 (Muamalah)., Gufron Effendi Mustofa,M.Pd.I, yang telah memberikan izin untuk menyusun makalah ini.
Rekan-rekan yang telah banyak membantu dan memberi saran sehingga makalah ini terselesaikan.
Makalah ini tentu masih banyak kesalahannya,untuk itu penulis memohon kritik dan saran yang membangun.
Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Wassalamu.alaikum Wr.wb

Wonosobo, 27 Oktober 2014







DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR............................................................................................      1
DAFTAR ISI...........................................................................................................      2
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................      3
A.    Latar Belakang.............................................................................................      3
B.     Rumusan Masalah........................................................................................      3
C.     Tujuan..........................................................................................................      3
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................      4
A.    Pengertian.....................................................................................................      4
B.           ............................................................................................................... 4
C.           ............................................................................................................... 5
D.          ............................................................................................................... 6
E.           ............................................................................................................... 8
BAB III PENUTUP................................................................................................      9
A.    Kesimpulan..................................................................................................      9
B.     Saran............................................................................................................      9
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................    10









BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Dalam Islam, ada beberapa bentuk atau macam dalam akad jual beli, salah satunya adalah istishna’. istishna’ merupakan transaksi penjualan antara penjual dengan pembeli, dimana dalam kontrak ini pembuat barang menerima pesanan dari pembeli dan berusaha unutk mendatangkan barang sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Dan mengenai pembayaran, kedua pihak sepakat atas harga dapat dilakukan dimuka, dicicil, atau ditangguh untuk masa tertenu. Dalam pelaksanaannya, istishna’ ini tidak ada dalil yang jelas tentang halal ataukah haram dilakukakan. Maka dari itu, dalam makalah ini kami akan mencoba memaparkan lebih lanjut mengenai istishna’ ini.
B.     Rumusan Masalah
a.         Apa pengertian Isthisna’?
b.         Apa saja Rukun dalam Istishna’?
c.         Apa saja syarat-syarat dalam Istishna’?
d.        Bagaimana Hukum dalam Istishna’?
C.    Tujuan Penulisan
a.         Mengetahui tentang istishna’
b.         menambah wawasan tentang muamalah
c.         Menjabarkan dasar hukum yang melandasi istishna’.
d.        Menyebutkan rukun dan syarat melakukan istshna’.









BAB II
PEMBAHASAN


A.       Pengertian
Lafal istishna’ berasala dari akar kata shana’a ( صنع) ditambah alif, sin, dan ta’ menjadi istisna’a ( استصنع) yang artinya : “meminta untuk dibuatkan sesuatu” ,
sedangkan menurut bahasa defenisi istishna’ adalah suatu akad beserta seorang produsen untuk mengerjakan sesuatu yang dinyatakan dalam perjanjian ; yakni akad untuk membeli sesuatu yang dibuat oleh seorang produsen dan barang serta pekerjaan dari pihak produsen tersebut.”[1]
Dari definisi diatas bahwa akad Istishna adalah akad yang mengandung tuntutan atau permintaan agar Shani ‘(produsen)membuatkan suatu barang (pesanan) dari mustashni’(pesanan) dengan ciri-ciri dan harga tertentu. Dalam istihna ‘bahan baku/ modal pembuatanya dari pihak produsen.Sedangkan konsumen adalah pemesan barang denga ciri, bahan, bentuk, jumlah, jenis dan lain-lain yang sesuai dengan apa yang di kehendakinya. Dalam hal mewujudkan barang atas pesanan konsumen,produsen(shani) memproduknya sesuai dengan kehendak mushtasni tersebut. Maka dalam Istishna’ sangat mungkin terjadi barang tersebut tidak ada dalam pasaran atau setidak-tidaknya memiliki ciri-ciri tertentu di banding dengan barang-barang yang ada di pasaran.
Ulama Madzhab Hanafi mengatakan bahwa akad istishna’merupakan akad jual  beli bukan ijarah (upah mengupah atau sewa  menyewa) Oleh sebab itu menurut mereka objek akad dan kerja dibebankan kepada Shani’(produsen) dan harga barang bisa di bayar kemudian. Apabila di syaratkan bagi Shani’ hanya bekerja saja dan barang baku dari konsumen, maka akad ini tidak lagi di sebut akad istishna tetapi berubah menjadi akad ijarah.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hukum Istishna’ merupakan jenis khusus dari akad salam (akad jual beli pesanan),sehingga syarat-syaratnya sama dengan syarat-syarat yang berlaku dalam hukum harus di sepakati pada waktu akad di  sepakati dan tenggang waktu penyerahan barang harus jelas.Dengan demikian dalam akad istishna’bahan dan kerja dari produsen ,sedangkan konsumen hanya memesan sesuai kehendaknya.
B.       Rukun Istishna’
Akad Istishna di pandang syah apabila memenuhi rukun istishna’di antaranya :
1)        Shani’ (produsen/pembuat)
2)        Mustashni’(pemesan/pembeli)
3)        Mashnu’(barang yang di pesan)
4)        Ra’al-maj(harga/modal yang di bayarkan)
5)        Shighat ijab qobul(ucapan serah trima).
C.       Syarat Istishna’
Sebagaimana di singgung di depan,bahwa ulama fiqih menyatakan bahwa akad isishna’ merupakan akad yang mengandung unsur spikulasi dam hukiumnya di perselisihkan,sebab pada dasarnya akad ini tidak sejalan dengan prinsip dasar jual beli yang unsur terpentinggnya ialah barang yang di perjual belikan harus ada .Sementara dalam hukum istishn’ barang yangt di perjualbelikan di yakini masih akan ada.Untuk menghindari munculnya spikulasi sebagai dampak dari belum adanya barang ketika akad,ulama fiqih mengemukakan syarat-syarat istishna’yang ketat sebagai berikut :
                                                                 
1.        Syarat yang terkait dengan Shani dan mustashnishani tidak mempumyai hak untuk khiyar ketika mustashni (pemesan/pembeli) melihat barang yang di jual dan setuju atas barang yang di pesan.Sementara mustashni di beri hak khiyar (kemudian meninggalkan pesanan) jika shani di anggap tidak memenuhi sifat-sifat barang pesanan.Namun demikian menurut  Abu Yusuf,masing-masing dari shani dan mushtashni tidak boleh melakukan khiyar dengan alasan dapat merugikan shani.[2]

2.        Syarat yang terkait dengan objek akad (mashnu) Objek akad harus di jelaskan secara rinci,baik jenisnya,ukuranya,jumlahnya maupun sifat-sifatnya.persyaratan ini untuk menghindari ketidak jelasan objek. Apabila salah satu unsur ini tidak jelas, maka akadnya tidak syah.
D.       Perbedaan Akad Salam dengan Akad Istishna’
Jumhur Ulama memandang bahwa akad Istishna’ merupakan bagian dari akad salam.Namun demikian akad istishna’mempunyai ciri khas sendiri yang membedakanya dengan akad salam.Diantaranya adalah :
a)        Barang (Objek) yang di jual dalam akad salam adalah berbentuk’’utang’’ yang wajib di selesaikan dan objek itu sejenis barang yang ada contohnya di pasar.Tetapi dalam istishna barang yang di pesan adalah materinya yang contohnya tidak ada di pasar dan sekalipun ada tetapi tidak sama.Namun demikian jumhur ulama tidak membedakan objek istishna ini.
b)        Dalam salam,jumhur ulama mensyaratkan harus ada jangka waktu antara akad dan penerimaan barang yang di pesan,kecuali menurut mahzhab syafi’i.Sementara dalam istishna tidak boleh ada jangka waktu.
c)        Dalam salam, akad besrsifat mengikat,masing-masing pihak tidak boleh membatalkan akad sepihak.Sedangkan dalam akad istishna’ akad tidak bersifat mengikat masing-masing yang berakad boleh membatalkan secara sepihak.
d)       Dalam akad salam ra’s al-mal harus di serahkan seluruhnya di waktu terjadinya transaksi.Sementara dalam akad ustishna’boleh menyerahkan ra’s al-mal sebagian atau tidak sama sekali di waktu terjadinya akad. Dan inilah yang menjadi perbedaan mendasar antara keduanya.
E.       Dasar Hukum Istishna’
Dalam menentukan hukum akad istishna’ Ulama’ fiqh berbeda pendapat. Di kalangan Ulama’ Hanafi sendiri terdapat dua pendapat. Sebagian berpendapat bahwa, jika akada ini didasarkan pada dalil qiyas (analogi) kepada jual beli, maka akad istishna’ dianggap tidak syah, sebab obyek jual beli belum ada. Hal ini masuk dalam kategori jual beli  beli ma’dum (jual beli yang objeknya belum ada) yang dilarang oleh Rasulullah SAW. Namun sebagian Ulama’ Hanafi melihat bahwa istishna’ didasarkan pada dalil istihsan (berpaling dari kehendak qiyas, karena kemaslahatan yang kuat menjadi alasan pemalingan ini). maka untuk kemaslahatan orang banyak akad ini dibolehkan.
          Sebagian ulama’ syafi’iyah berpegangan pada kaidah qiyas. Maka, istishna’ tidak diperbolehkan sebab bertentangan dengan kaidah umum yang berlaku dalam jual beli, di mana obyek akad belum ada. Sehingga di sini dimungkinkan munculnya unsur spekulasi. Menurut sebagian dari mereka, dasar hukum dari istishna’ adalah adat kebiasaan yang telah berlaku dalam masyarakat. Masyarakat sudah menjadikaan istishna’ sebagai salah satu model transaksi mereka, dan akad ini sudah menjadi salah satu kebutuhan masyarakat.
          Sedang ahli fiqh kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ hukumnya syah atas dasar qiyas dan aturan umum syari’ah. Mereka berpandangan bahwa akad istishna’ termasuk jual beli biasa, di mana penjual meiliki kemampuan menyediakan barang saat penyerahan. Kemungkinan terjadinya perselisihan kualitas barang dapat diminimalisir dengan kesepakatan kriteria, ukuran, bahan material pembuatan barang dan lain-lain. Sehingga unsur spekulasi yang dimungkinkan muncul akan dapat dihindari. Apa lagi dalam akad ini, juga diberlakukan beberapa syarat yang harus dipenuhi.[3]
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa kebolehan akad istishna’ bukan atas dasar dalil nash suci al-Qur’an maupun nash al-hadist akan tetapi ijtihad Ulama’ fiqh. Atas dasar istihsan, Ulama Hanafi menyetujui istishna’ dengan alasan sebagai berikut:
a.         Masyarakat telah mempraktekan bai’ al-istishna’ secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Dalam hal ini makaakda istishna’ sudah menjadi konsensus masyarakat.
b.        Dalil Qiyas (dalam hal ini ia menjadi dasar ketidak bolean istishna’), dapat tidak dipakai jika ada alasan kuat ada ada ijma’ yang menyatakan demikian.
c.         Keberadaan bai’ al-istishna’ didasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka cenderung memerlukan kontrak agar orang lain membuatkan barang sesuai dengan selera mereka.
d.        Bai’ al-istishna’ secara umum tidak mengingkari aturan kontrak. Maka ia dipandang syah selama tidak bertentangan dengan naash atau aturan umum syari’ah[4].
F. Hakekat akad istishna’
            Ulama mazhab Hanafi berbeda pendapat tentang hakekat akad istishna' ini. Sebagian menganggapnya sebagai akad jual-beli barang yang disertai dengan syarat pengolahan barang yang dibeli, atau gabungan dari akad salam dan jual-beli jasa (ijarah). Sebagian lainnya menganggap sebagai 2 akad, yaitu akad ijarah dan akad jual beli. Pada awal akad istishna', akadnya adalah akad ijarah (jualjasa). Setealh barang jadi dan pihak kedua selesai dari pekerjaan memproduksi barang yang di pesan, akadnya berubah menjadi akad jual beli.
            Nampaknya pendapat pertama lebih selaras dengan fakta akad istishna'. Karena pihak 1 yaitu pemesan dan pihak 2 yaitu produsen hanya melakukan sekali akad. Dan pada akad itu, pemesan menyatakan kesiapannya membeli barang-barang yang dimiliki oleh produsen, dengan syarat ia mengolahnya terlebih dahulu menjadi barang olahan yang diingikan oleh pemesan[5].

G. Hal-Hal Terkait Istishna’
a.      Penetapan Waktu Penyerahan Istishna'
Ada tiga pendapat di dalam mazhab Hanafi yang berhubungan dengan penetapan tanggal penyerahan mashnu;
·         Imam Abu Hanifah menolak penetapan tanggal pada masa yang akan datang untuk penyerahan mashnu' Jika suatu tanggal ditetapkan, maka kontrak berubah menjadi bai' as salam karena ini merupakan ciri dari akad yang mengikat seperti bai'as salam bukan ciri bai' al istishna’ yang terbuka atas pilihan-pilihan.
·         Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hassan Asy Syaibani, dua murid dan sahabat Abu Hanifah menerima syarat penetapan tanggal pada masa yang akan datang Alasannya, orang-orang telah mempraktekkan istishna' dengan cara seperti itu.
·         Tetapi Abu Hanifah dan kedua sahabatnya bersepakat jika tanggal penyerahan dalam suatu akad istishna’ ditetapkan, dan tidak sesuai dengan apa yang lazimnya dipraktekkan, maka akad bai’ al istishna‘ tersebut berubah menjadi akad bai as salam.


b. Konsekuensi Akad Istishna'
Imam Abu Hanifah dan kebanyakan pengikutnya menggolongkan akad istishna' ke dalam jenis akad yang tidak mengikat. Dengan demikian, sebelum barang diserahkan keduanya berhak untuk mengundurkan diri akad istishna'; produsen berhak menjual barang hasil produksinya kepada orang lain, sebagaimana pemesan berhak untuk membatalkan pesanannya.
Sedangkan Abu Yusuf murid Abu Hanifah, memilih untuk berbeda pendapat dengan gurunya. Beliau menganggap akad istishna' sebagai salah satu akad yang mengikat. Dengan demikian, bila telah jatuh tempo penyerahan barang, dan produsen berhasil membuatkan barang sesuai dengna pesanan, maka tidak ada hak bagi pemesan untuk mengundurkan diri dari pesanannya. Sebagaimana produsen tidak berhak untuk menjual hasil produksinya kepada orang lain.
Menurut penulis, pendapat Abu Yusuf inilah yang lebih kuat, karena kedua belah pihak telah terikat janji dengan saudaranya. Bila demikian, maka keduanya berkewajiban untuk memenuhi perjanjiannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
المُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوطِهِمْ. رواه أبو داود والحاكم والبيهقي وصححه الألباني
"Kaum muslimin senantiasa memenuhi persyaratan mereka." ( Hadis Riwayat Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqy dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albany )
c. Penghentian Kontrak Ba’i al Istishna'
Kontrak ba'i al istishna' bisa dihentikan berdasarkan kondisi- kondisi berikut ini:
1.      Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak.
2.      Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kontrak.
3.      Pembatalan hukum kontrak. Ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan masing-masing pihak bisa menuntut pembatalannya.

H. istishna’ Pararel
            Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontrakator untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama. Kontrak baru ini di kenal sebagai istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat di lakukan dengan syarat:
(a) akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir dan
(b) akad kedua di lakukan setelah akad pertama sah.
Ada beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan kontrak pararel. Diantaranya sebagai berikut.
  1. Bank Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksaaan kewajibannya. Istishna’ pararel atau subkontrak untuk sementara harus di anggap tidak ada. Dengan demikian sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak pararel.
  2. Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel bertanggung jawab terhadap Bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan kontrak pararel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian kedua kontraktersebut tidak memunyai kaitan hukum samasekali.
  3. Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang, bertanggungjawab kepada nasabah atas pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewjiban inilah yang membenarkankeabsahan istishna’ pararel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada[6].
























BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
            Istishna’ adalah akad jual beli pesanan dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggung jawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir. Rukun dan syarat istishna’  mengikuti bai’ as-salam.  Hanya saja pada bai’ al-istishna’  pembayaran tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan  waktu tertentu penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang pada umumnya.
B.     Saran
Dengan mengucap syukur alhamdulillah pada Allah SWT, kami dapat  menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tentunya masih banyak kekurangan. Oleh  karena itu kami masih memerlukan kritik dan saran yang membangun serta bimbingan, terutama dari Dosen.  Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi kami sebagai penyusun.











DAFTAR PUSTAKA
Muslich, Drs. H. Ahmad Wardi, Fiqh Muamalah, Jakarta : Amzah, 2010
al-Jazirah, Abd, al-fiqh ala Madzahabi al-arba’ah, Beirut: Daat al-Qalam, tt
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teorike Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001
al-Kasani, Alauddin, Bada’i al-Shana’i, Cet.I, Beiut: Dar al-Kutub, 1997
http://fachmieloebiez.blogspot.com/2013/05/istishna-fiqh-muamalah.html



[1]Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah ( Jakarta : Amzah, 2010 ), hlm. 252-253
[2] Alauddin al-Kasani, Bada’i al-Shana’i, Cet.I (Beiut: Dar al-Kutub, 1997) hlm.136
[3]Abd al-Jazirah, al-fiqh ala Madzahabi al-arba’ah (Beirut: Daat al-Qalam, tt) hlm.202
[4]Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teorike Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2001)  hlm.114
[5]http://firafairuz.blogspot.com/2013/10/makalah-istishna.html
[6]http://fachmieloebiez.blogspot.com/2013/05/istishna-fiqh-muamalah.html

Tidak ada komentar: