MAKALAH
PSIKOLOGI BELAJAR
IQ,
EQ, SQ
Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Belajar
Diampu
oleh Bpk.Mizanto,Spd.I
Kelompok 6
1.
Fitrotun Nahdiyah
2.
Agutina
Setyo Rini
3.
Komariyah
4.
Rukoyah
5.
Amin
Alifatuloh
Semester
: III
PROGRAM
STUDI S1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN
DI WONOSOBO
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul IQ, EQ, SQ. Makalah
ini di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Belajar.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada :
Bapak Dosen Mata Kuliah Psikologi Belajar., Mizanto.,Spd.I, yang telah
memberikan izin untuk menyusun makalah ini.
Rekan-rekan yang telah banyak membantu dan memberi saran sehingga makalah
ini terselesaikan.
Makalah ini tentu masih banyak kesalahannya,untuk itu penulis memohon
kritik dan saran yang membangun.
Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Wassalamu.alaikum Wr.wb
Wonosobo, 11 November 2014
|
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ 1
DAFTAR ISI........................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah........................................................................................ 3
C. Tujuan.......................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. IQ (Intelligence Quotient)........................................................................... 4
B. EQ (Emotional Quotient)............................................................................ 11
C. SQ (Spiritual Quotient)................................................................................ 14
D.
Pendekatan Pembelajaran
Berdasarkan IQ, EQ, SQ................................... 19
E.
Analisa......................................................................................................... 20
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................. 21
B. Saran............................................................................................................ 21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 22
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan
paling sempurna oleh Allah SWT diantara ciptanNya yang lain, dimana manusia
memiliki hati untuk merasakan, naluri dan akal untuk berfikir sehingga manusia
menempati posisi yang paling tinggi diantara makhluk yang lain. Dengan
kesempurnaanya itu manusia dalam berfikir diberi kualitas serta kecerdasan
yaitu seperti kecerdasan IQ, EQ dan SQ yang merupakan kecerdasan berfikir,
emosi serta spiritual.
Tingkat kecerdasan seseorang dapat
diukur dengan seberapa tinggi tingkatan IQ nya dengan berapa macam cara, namun
tingkat kecerdasan seseorang dikatan bagus jika ketiga elemen tersebut saling
bekerja sama secara seimbang dan optimal yang terutama diasah adalah kecerdasan
spiritual atau SQ sebagai modal pembentuk IQ dan SQ, serta adanya pengelolaan
atau usaha untuk terus mengasah ketajaman kualitas kecerdasan manusia yang
lebih tinggi.
B.
Rumusan Masalah
a. Apa
sajakah pembahasan mengenai IQ, EQ dan SQ?
b. Bagaimana
Pendekatan Belajar yang Berkaitan dengan IQ, EQ dan SQ?
c. Bagaimana
Analisa terhadap ketiga hal tersebut?
C.
Tujuan
a. Mengetahui
Pengertian dan Komponen-komponen dalam Teori IQ, EQ dan SQ.
b. Memahami
Pendekatan Belajar Berdasar IQ, EQ dan SQ
c. Dapat
Menganalisis Permasalah yang berkaitan dengan IQ, EQ dan SQ
BAB II
PEMBAHASAN
A.
IQ (Intelligence Quotient)
1.
Pengertian
IQ
Menurut David Wechsler, inteligensi
adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional.
Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan
harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari
proses berpikir rasional itu. Sedangkan IQ atau tingkatan dari Intelligence
Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan
demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang
dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan, dapat
dikatakan pula IQ atau Intelligence Quotient adalah ukuran
kemampuan intelektual, analisis, logika, dari seseorang yang merupakan
kecerdasan otak untuk menerima, menyimpan dan mengolah informasi menjadi fakta.
Tingkat kecerdasan seorang anak yang
ditentukan secara metodik oleh IQ memegang peranan penting untuk suksesnya anak
dalam belajar. Menurut penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat
ditentukan sekitar umur 3 tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis
keturunan atau gen.
IQ atau daya tangkap ini dianggap takkan berubah sampai seseorang dewasa, kecuali bila ada sebab kemunduran fungsi otak seperti penuaan dan kecelakaan karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.
IQ atau daya tangkap ini dianggap takkan berubah sampai seseorang dewasa, kecuali bila ada sebab kemunduran fungsi otak seperti penuaan dan kecelakaan karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.
IQ yang tinggi memudahkan seorang
murid belajar dan memahami berbagai ilmu. Daya tangkap yang kurang merupakan
penyebab kesulitan belajar pada seorang murid, disamping faktor lain, seperti
gangguan fisik ( sakit demam, lemah, sakit-sakitan) dan gangguan emosional.
Awal untuk melihat IQ seorang anak adalah pada saat ia mulai berkata-kata. Ada
hubungan langsung antara kemampuan bahasa si anak dengan IQ-nya, apabila
seorang anak dengan IQ tinggi masuk sekolah, penguasaan bahasanya akan lebih
cepat dan banyak dibandingkan dengan anak yang IQnya rendah.
Laurel Schmidt membagi kecerdasan
dalam tujuh macam, antara lain yaitu:
1. Kecerdasan visual (kecerdasan
gambar) yaitu untuk keterampilan atau bakat arsitak, seniman dan designer.
2. Kecerdasan verbal atau linguistik
(kecerdasan berbicara) yaitu
keterampilan bagi mereka yang memiliki kecerdasan pengarang atau menulis, guru,
penyiar radio, pemandu acara, presenter, pengacara, penterjemah, dan pelawak.
3. Kecerdasan musik yaitu keterampilan
seperti pengubah lagu, pemusik, penyanyi, disc jokey,
guru seni suara, kritikus musik, ahli terapi musik, audio mixier
(pemandu suara dan bunyi).
4. Kecerdasan logis atau matematis
(kecerdasan angka) yaitu keterampilan bagi mereka yang memiliki kecerdasan
seperti ahli metematika, ahli astronomi, ahli pikir, ahli forensik, ahli tata
kota , penaksir kerugian asuransi, pialang saham.
5. Kecerdasan interpersonal atau cerdas
diri yaitu keterampilan atau keahlian bagi mereka yang memiliki kecerdasan ini
adalah ulama, pendeta, guru, pedagang, resepsionis, pekerja sosial, perantara
dagang, pengacara, manajer sumber daya manusia.
6. Kecerdasan intrapersonal (cerdas
bergaul) yaitu profesi yang cocok bagi mereka yang memiliki kecerdasan
peneliti, ahli kearsipan, ahli agama, ahli budaya, ahli purbakala, ahli etika
kedokteran.
2. Pengukuran
Inteligensi
Pada
tahun 1904, dua orang asal Perancis yaitu Alfred Binet dan Theodor Simon
merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi
siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus yaitu anak-anak yang kurang
pandai, alat tes itu dinamakan tes Binet-Simon. Tahun 1916, Lewis Terman,
seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon.
Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan
sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil
perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah
diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang
kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini
banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Salah
satu reaksi atas tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum, Charles
Sperman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor
yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang
lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence).
Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult
Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale
for Children) untuk anak-anak. Di samping alat-alat tes tersebut, banyak dikembangkan
alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di
mana alat tes tersebut dibuat.
3.
Faktor-faktor yang mempengaruhi IQ
anak, antara lain yaitu:
a. Faktor bawaan atau keturunan.
Beberapa
kalangan berpendapat bahwa faktor genetik dapat mempengaruhi taraf intelegensi
seseorang. Jika kedua orang tua memiliki intelegensi, besar kemungkinan anaknya
memiliki intelegensi tinggi pula. Akan tetapi tidak semua fakta itu benar, ada
yang kedua orang tuanya memiliki taraf intelegensi tinggi tetapi mempunyai anak
dengan taraf intelegensi tingkat rata-rata atau bahkan dibawah rata-rata.
Beberapa
ahli berpendapat bahwa pengaruh orang tua yang sedemikian besar terhadap
perkembangan intelegensi anak adalah lebih disebabkan oleh upaya orang tua itu
sendiri dalam mendidik anak-anaknya. Dr. Bernard Devlin dari fakultas
kedokteran universitas Pitsburg Amerika Serikat, memperkirakan faktor genetika
memiliki peranan sebesar 48% bentuk IQ anak, sedangkan sisanya adalah faktor
lingkungan, termasuk ketika anak masih dalam kandungan.
Jadi orang
tua yang memiliki IQ tinggi bukan jaminan dapat menghasilkan anak ber IQ tinggi
pula.
b. Faktor Lingkungan
1. Lingkungan keluarga
Keluarga
merupakan lingkungan pertama yang bertanggung jawab terhadap pendidikan dan
perkembangan anak dalam berbagai aspek, tugas penting orang tua akan sangat
mendukung apabila mampu menciptakan suasana rumah menjadi tempat tinggal
sekaligus sebagai basis pendidikan. Maka dari itu lingkungan keluarga harus
memberikan stimulus positif untuk menyiapkan kondisi yang kondusif guna tercapainya perkembangan yang optimal
bagi seorang anak.
Pengaruh
lingkungan keluarga terhadap perkembangan intelegensi anak cukup besar, hasil
penelitian menyimpulkan bahwa lingkungan keluarga berkorelasi secara signifikan
dengan perkembangan intelegensi anak. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Garber Ware disimpulkan bahwa semakin tinggi kualitas lingkungan
rumah, cenderung semakin tinggi pula IQ anak.
Ada
dua unsur penting dalam keluarga yang sangat mempengaruhi perkembangan
intelegensi anak yaitu:
a. Adanya jumlah buku, majalah atau
materi belajar lainnya yang terdapat dalam lingkungan rumah.
b. Adanya ganjaran, pengakuan, dan
harapan yang diterima anak dari orang tua atas prestasi akademiknya.
Dalam melaksanakan kegiatan belajar
di lingkungan rumah, orang tua perlu menggunakan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
a. Anak perlu diperhatikan.
Perhatian
kepada anak merasa senang dan terpadu dalam melakukan kegiatan. Perhatian yang
proporsional akan memunculkan motivasi atau semangat anak, motivasi ini akan
menggerakkan daya cipta yang didorong oleh potensi yang sudah ada pada diri
anak.
b. Anak mengalami tumbuh kembang yang
unik.
Kegiatan
belajar yang dilakukan harus disesuaikan dengan tumbuh kembang anak yang
terjadi. Anak memiliki gaya belajar yang berbeda, ada anak yang lebih cepat
mengolah pengetahuan dengan pendengaran (auditory), gerakan (kinesthetic), dan
dengan cara melihat (visual).
c. Waktu kegiatan belajar di rumah bisa
lebih banyak.
Di
rumah dapat digunakan untuk melakukan kegiatan belajar dengan tidak
meninggalkan pertimbangan memberi keleluasaan dan kebebasan anak dalam
melakukan kegiatan.
2. Lingkungan sekolah
Lingkungan
sekolah yaitu lingkungan formal yang mempunyai struktur dan program yang baku.
Menurut hasil penelitian, bahwa otak manusia pada saat dilahirkan kurang lebih
sama. Makin banyak otak digunakan makin banyak jaringan otak terbentuk,
sebaliknya jika otak jarang digunakan maka akan semakin berkurang jaringan otak
tersebut. Maka dari itu, pendidikan anak usia dini sangat penting dalam upaya
optimalisasi potensi anak, dengan demikian tuntutan bagi pendidik untuk
menjadikan pengalaman belajar anak menjadi pengalaman belajar yang menyenangkan
untuk mengoptimalkan perkembangan anak di masa yang akan datang.
3. Lingkungan masyarakat
Dalam
masyarakat anak akan bergaul dengan orang lain sehingga baik langsung maupun
tidak langsung akan saling mempengaruhi pembentukan pribadi anak.
Adapun
fungsi peranan masyarakat dalam pembentukan pola pikir anak.
a.
Dengan melihat yang terjadi di dalam masyarakat, anak akan
mendapatkan pengalaman langsung sehingga pengalaman tersebut akan mudah
diingat.
b.
Pendidikan anak-anak yang berasal dari masyaakat akan
kembali kemasyarakat juga.
c.
Di masyarakat banyak sumber pengetahuan yang mungkin belum
didapat dari lingkungan formal lain.[1]
4.
Langkah-langkah yang perlu
dikembangkan untuk menumbuhkan IQ anak antara
lain:
a.
Melakukan pembelajaran secara dini bagi anak
Kecerdasan
anak tidak dapat tumbuh dengan sendirinya, tetapi harus dirangsang, diantaranya
dengaan melakukan pembelajaran secara dini bagi anak. Seperti diperkenalkaan
pada kegiatan membaca dan menulis. Kegiatan semacam ini dapat merangsang
daya ingat anak terhadap benda tersebut sekaligus memperkenalkan anak akan
bentuk huruf dan tulisan. Begitu pula dengan kemampuan dasar matematika, dapat
dirangsang melalui cara sederhana seperti menghitung jumlah anak tangga,
menghitung panjang masa dengan jengkal si anak, mengukur tinggi dan berat
badannya sendiri.
Membangkitkan
potensi anak tidak harus menggunakan waktu yang terjadwal atau waktu khusus,
namun dari semua kegiatan sehari-hari yang dialami oleh anak bisa dijadikan
media belajar anak untuk merangsang dan mengasah segala potensi anak, seperti
yang dikatakaan oleh Dr. Seto Mulyadi mengajarkan kepada orang tua agar
mengaitkan semua kegiatan sehari-hari sebagai suatu aktivitas yang
menyenangkan, sehingga dapat menumbuhkan keingintahuan yang besar serta
kemampuaan logika yang baik.
b.
Membangun stimulus pada anak.
Pengasuhan
dan penyediaan lingkungan yang kaya stimulus juga sangat penting dalam
perkembangan IQ anak, tanpa adanya stimulasi yang baik perkembangan intelegensi
baik intelektual maupun emosional tidak akan berkembang maksimal. Hasil puncak
stimulasi lingkungan yang optimal terjadi ketika anak berumur 6 tahun, maka
dari itu orang tua harus bisa memanfaatkan sebaik mungkin dan memberikan
stimulasi seoptimal mungkin.
Dalam
memberikan stimulasi pada anak, ada lima aspek perkembangan yang dibutuhkan
yaitu:
1.
Bahasa
Perkembangan
bahasa sangat tergantung dari stimulasi banyak mendengar kata-kata melalui
pembicaraan radio, type, dan kata-kata yang biasa diucapkan oleh orang tuanya,
serta melalui dongeng atau cerita.
2.
Perkembangan Emosi
Perkembangan
emosi anak membutuhkan syarat mutlak yakni melalui pola asuh yang penuh
perhatian dan kasih sayang.
3.
Musik
Stimulasi
melalui belajar musik sejak dini dapat membangun kapasitas otak untuk berfikir
visual spasial, matematika dan logika. Masa yang paling baik adalah usia tiga
sampai sepuluh tahun sebab stimulasi suara musik telah sempurna ditangkap oleh
otak.
5.
Beberapa ciri dari perilaku individu
yang memiliki kecerdasan tinggi adalah sebagai berikut:
a.
Memiliki daya adaptasi yang tinggi yaitu perilaku cerdas
cepat membaca dan menyesuaikan diri dengan lingkungan.
b.
Perilaku cerdas berorientasi kepada keberhasilan yaitu tidak
takut gagal dan selalu optimis.
c.
Memiliki sikap jasmaniyah yang baik, yaitu jika seorang
siswa yang intelegen ketika pelajaran berlangsung duduk dengan baik,
menempatkan bahan yang dipelajari, dan memegang alat tulis dengan baik.
d.
Mempunyai motivasi yang tinggi.
e.
Memiliki kemampuan yang baik dalam bekerja dalam bilangan
dan keevesiensian dalam berbahasa.
f.
Kemampuan mengamati dan menarik kesimpulan dari hasil
pengamatan secara cepat dan tepat.
g.
Memiliki kemampuan mengingat yang cukup tinggi dan mempunyai
imajinasi yang tinggi
6.
Beberapa cara untuk meningkatkan IQ
(Kecerdasan Intelektual) yaitu:
a.
Makan secara teratur, serta makan
makanan yang mengandung nutrisi untuk kesehatan otak.
b.
Istirahat yang cukup.
c.
Memotivasi diri untuk selalu
optimis dan menghilangkan rasa malas.
d.
Selalu
berfikir positif.
e.
Dapat membagi waktu untuk berbagai
kegiatan yang dilakukan.
f.
Dapat mengembangkan keterampilan
yang dimiliki melalui pelatihan khusus.
B. EQ
(Emotional Quetient)
1.
Pengertian EQ
Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk
mengenali, mengendalikan, dan menata perasaan sendiri dan orang lain secara
mendalam sehingga kehadirannya menyenangkan dan didambakan oleh oaraang lain.
Daniel Goleman didalam buku kecerdasan emosi
memberi tujuh kerangka kerja kecakapan ini, yaitu:
1.
Kecakapan pribadi yaitu kecakapan dalam
mengelola diri sendiri.
2.
Kesadaran diri yaitu bentuk kecakapan utuk mengetahui
kondisi diri sendiri dan rasa percaya diri yang tinggi.
3.
Pengaturan diri yaitu bentuk kecakapan dalam
mengendalikaan diri dan mengembangkan sifat seperti dipercaya , kewaspadaan ,
adaptabilitas, dan inovasi.
4.
Motivasi yaitu bentuk kecakapan untuk meraih
prestasi , berkomitmen, berinisiatif, dan optimis.
5.
Kecakapan sosial yaitu bentuk kecakapan dalam
menentukan seseorang harus menangani suatu hubungan.
6.
Empati yaitu bentuk kecakapan untuk memahami
orang lain, berorientasi pelayanan dengan mengembangkan orang lain. Mengatasi
keragmana orang lain dan kesadaran politis.
7.
Ketrampilan sosial yaitu betuk kecakapan dalam
menggugah tenggapan yang dikehendaki pada orang lain . kecakapan ini meliputi
pengaruh , komunikasi, kepemimpinan, katalisator perubahan, manajemen konflik,
pengikat jaringan, kolaboradi dan kooperasi serta kemampuan tim.
2.
Jenis dan Sifat
Emosi
Kecerdasan
emosional juga dapat diartikan dengan kemampuan untuk “menjinakkan” emosi dan
mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih positif. Seseorang dapat melakukan
sesuatu dengan didorong oleh emosi, dalam arti bagaimana yang bersangkutan
dapat menjadi begitu rasional di suatu saat dan menjadi begitu tidak rasional
pada saat yang lain. Dengan demikian, emosi mempunyai nalar dan logikanya
sendiri. Tidak setiap orang dapat memberikan respon yang sama terhadap
kecenderungan emosinya. Seorang yang mampu mensinergikan potensi intelektual
dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi manusia-manusia utama dilihat dari
berbagai segi.
Hubungan antara
otak dan emosi mempunyai kaitan yang sangat erat secara fungsional. Antara satu
dengan lainnya saling menentukan. Daniel Goleman menggambarkan bahwa otak
berfikir harus tumbuh dari wilayah otak emosional. Beberapa hasil penelitian
membuktikan bahwa kecerdasan emosional hanya bisa aktif di dalam diri yang
memiliki kecerdasan intelektual.
Jenis dan sifat
emosi dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.
Amarah:
Bringas, mengamuk, benci, marah besar, jenkel, kesal hati, terganggu, berang,
tersinggung, bermusuhan, sampai kepada kebencian bersifat patologis.
2.
Kesediahan:
Pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak,
putus asa, dan depresi berat.
3.
Rasa
takut: cemas, takut, gugup, khawatir, waswas, perasaan takut sekali, khawatir,
waspada, tidak tenang, negeri, kecut, fobia, dan panik.
4.
Kenikmatan:
bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan
indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar
biasa, dan batas ujungnya mania.
5.
Cinta:
penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti,
hormat, kasmaran, dan kasih.
6.
Terkejut:
terkesima, takjub, terpana.
7.
Jengkel:
hina, jijik, muak, mual, dan benci.
8.
Malu:
rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, aib, dan hati hancur lebur.[2]
3.
Cara Meningkatkan Kecerdasan Emosi (EQ).
1.
Mengenali emosi diri
Ketrampilan ini meliputi kemampuan
Anda untuk mengidentifikasi apa yang sesungguhnya Anda rasakan.
2.
Melepaskan emosi negative
Kemampuan untuk memahami dampak dari
emosi negatif terhadap diri Anda.
3.
Mengelola emosi diri sendiri
Ada bebrapa cara untuk mengelola
emosi yang pertama adalah menghargai emosi dan menyadari dukungannya kepada
Anda. Kedua berusaha mengetahui pesan yang disampaikan emosi, dan meyakini
bahwa kita pernah berhasil menangani emosi ini sebelumnya. Ketiga adalah dengan
bergembira kita mengambil tindakan untuk menanganinya. Kemampuan kita mengelola
emosi adalah bentuk pengendalian diri yang paling penting dalam manajemen diri,
karena kitalah sesungguhnya yang mengendalikan emosi atau perasaan kita, bukan
sebaliknya.
4.
Memotivasi diri sendiri.
Menata emosi sebagai alat untuk
mencapai tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi
perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk
berkreasi. Kendali diri emosional--menahan diri terhadap kepuasan dan
mengendalikan dorongan hati adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang.
5.
Mengenali emosi orang lain
Mengenali emosi orang lain berarti
kita memiliki empati terhadap apa yang dirasakan orang lain. Penguasaan
ketrampilan ini membuat kita lebih efektif dalam berkomunikasi dengan orang
lain. Inilah yang disebut sebagai komunikasi empatik. Berusaha mengerti
terlebih dahulu sebelum dimengerti. Ketrampilan ini merupakan dasar dalam
berhubungan dengan manusia secara efektif.
6.
Mengelola emosi orang lain
Jika ketrampilan mengenali emosi
orang lain merupakan dasar dalam berhubungan antar pribadi, maka ketrampilan
mengelola emosi orang lain merupakan pilar dalam membina hubungan dengan orang
lain. Manusia adalah makhluk emosional. Semua hubungan sebagian besar dibangun
atas dasar emosi yang muncul dari interaksi antar manusia.
7.
Memotivasi orang lain
Ketrampilan memotivasi orang lain
adalah kelanjutan dari ketrampilan mengenali dan mengelola emosi orang lain.
Ketrampilan ini adalah bentuk lain dari kemampuan kepemimpinan, yaitu kemampuan
menginspirasi, mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan
bersama. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan membangun kerja sama tim yang
tangguh dan andal.
4.
Karakter Orang yang Ber-EQ Tinggi.
1.
PRIA
a.
Secara sosial mantap.
b.
Mudah bergaul.
c.
Tidak mudah gelisah dan takut.
d.
Bertanggungjawab.
e.
Humoris.
f.
Bermoral.
g.
Simpatik dan hangat dalam berhubungan.
h.
Kehidupan emosionalnya kaya dan wajar.
i.
Nyaman dengan dirinya dan orang lain.
2.
WANITA
a.
Tegas dan berani mengungkapkan perasaannya secara langsung
dan wajar.
b.
Berfikir positif, mudah bergaul dan ramah.
c.
Mudah menerima orang baru.
d.
Nyaman dengan dirinya, ceria, terbuka terhadap pengalamannya,
sensual, dan spontan.
C.
SQ (Spiritual Quetient)
1.
Pengertian SQ.
Kecerdasan
spritual tersusun dalam dua kata yaitu “kecerdasan” dan “spiritual”. Kecerdasan
adalah kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, terutama
masalah yang menuntut kemampuan fikiran. Berbagai batasan-batasan yang
dikemukakan oleh para ahli didasarkan pada teorinya masing-masing.[3]
Ciri SQ definisi menurut para ahli Spiritual adalah dasar bagi tumbuhnya harga
diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Ia memberi arah dan arti bagi
kehidupan kita tentang kepercayaan mengenai adanya kekuatan non fisik yang
lebih besar dari pada kekuatan diri kita yang merupakan suatu kesadaran
untuk menghubungkan kita langsung dengan
Tuhan, atau apa pun yang kita namakan sebagai sumber keberadaan kita.[4]
Jadi
berdasarkan pendapat -pendapat tersebut kecerdasan spiritual dapat diartikan
sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi dan memecahkan masalah persoalan
makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menenempatkan perilaku dan hidup kita
dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa
tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang
lain.
Saat ini, pada
akhir abad ke-20, serangkain data ilmiah terbaru, yang sejauh ini belum
dibahas, menunjukan adanya “Q” jenis ketiga. Gambaran utuh kecerdasan manusia
dapat dilengkapi dengan perbincangan mengenai kecerdasan spiritual (SQ). Kamus webster mendefinikasikan ruh sebagai
“prinsip yang menghidupkan atau vital, hal yang memberi kehidupan pada organisme fisik dan bukan pada unsur
materinya, nafas kehidupan. Pada dasarnya manusia adalah mahluk spiritual
karena selalu terdorong oleh kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan mendasar
atau pokok. Dalam pembahasan mengenai dasar neurologis SQ, secara harfiah SQ beroperasi dari pusat
otak yaitu dari fungi-fungsi penyatu otak. SQ mengintegrasikan semua kecerdasan
kita, SQ menjadikan kita mahluk yang benar benar utuh secara intelektual,
emosional, spiritual.[5]
2.
Memahami SQ
Banyak
sekali karya kreatif, yang tentunya dihasilkan oleh orang-orang cerdas, yang
manfaatnya banyak dirasakan masyarakat. Lalu apa makna kreatif ini bagi para
penciptanya sendiri. Sudah barang tentu sangat banyak disamping materi,
pengahargaan, berbagai kemudahan dan perlakuan istimewa, ia telah berarti
mewujudkan misi hidup manusia yang primordial, yakni khalifah Allah yang
menjadi rahmat bagi semesta.
Ada
tiga pola kerja manusia yang harus kita mengerti, pertama pola kerja manual
yakni pola kerja yang mengandalkan otot atau tenaga fisik seperti perkerjaan
angkat junjung membersihkan rumah dan sebagainya. Kedua pola kerja
admisnistratif yakni pola pekerjaan yang mengandalkan rasio seperti mengetik,
menghitung dan sebagainya. Ketiga pola pekerjaan kreatif yakni pola pekerjaan
yang lebih mengandalkan kemampuan dan kesucian inteleksi. Berbeda dengan rasio
inteleksi lebih merujuk pada kemampuan manusia untuk menyerap inspirasi,
simbol-simbol dan melahirkan ide-ide baru. Ia lebih bersifat spiritual dan
metafisik dan disini campur tangan illahi lebih bersifat langsung karena itulah
dapat dikatakan bahwa inteleksi lebih merujuk pada pengertian qul (hati), dan
aql (akal) dalam maknanya prisipal. Model kecerdasan pun lebih bersifat
spiritual, yang terfleksi dalam penemuan-penemuan baru, orisinil, kreatif, dan
inspiratif.[6]
Personofikasi
paling sempurna tipe manusia yang berhasil mengaktualkan intelegensi spiritual
adalah Rasulullah SAW. Beliau dari kecil adalah orang yang Ummi, tidak bisa
membaca dan menulis secara literal dan karena itu tak satupun buku telah
dibacanya, namun demikian beliaulah manusia paling arif dan cerdas baik sebelum
menjadi rasul apalagi ketika menjadi rasul.
Ekespresi
kecerdasan yang ditunjukan rasulullah itu begitu murni dan asli tetapi hasilnya luar biasa.
Lalu siapakah yang mengajari beliau, sehingga memiliki kecerdasan demikian
cemerlang? Dalam batas-batas manusiawi, tak ada seorangpun yang mengajari
beliau, tetapi bisa dikatakan dengan masalah kecerdaasan ini adalah karena
beliau memelihara fitrahnya sendiri secara baik, tanpa mengotorinya dengan
perilaku buruk, egoisme dan sebagainya, sehingga fitrah itulah menjadi aktual.
Dengan fitrah itulah beliau mempresepsi, berinteraksi dan mengantisipasi
persoalan persoalan kehidupan.[7]
3.
Menggunakan SQ
Dalam istilah evolusioner, karya neurobiologis
tentang bahasa dan representasi simbolis deacon menunjukan bahwa kita telah
menggunakan SQ secara harfiah untuk menumbuhkan otak manusia kita. SQ telah
menyalakan kita untuk menjadi manusia apa adanya sekarang dan memberi potensi
untuk menyala lagi untuk tumbuh dan berubah
serta menjalani lebih lanjut evolusi potensi manusiawi kita.
Kita menggunakan SQ untuk berhadapan dengan
masalah eksistensial yaitu saat kita secara pribadi merasa terpuruk, terjebak
oleh kebiasaan, kekhawatiran, dan masalah masa lalu kita misalnya akibat
penyakit dan kesedihan. SQ menjadikan kita sadar bahwa kita mempunyai masalah
eksitensial dan membuat kita mampu mengatasinya atau setidaknya bisa berdamai
dengan masalah tersebut.
Kita dapat menggunakan SQ untuk menjadi lebih
cerdas secara spiritual dalam beragama. SQ membawa kita ke jantung segala hal,
sesuatu ke kesatuan dibalik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata. SQ
mampu menghubungkan kita dengan makna dan ruh esensial dibelakang semua agama
besar.
SQ memungkinkan kita untuk menyatukan hal-hal yang
bersifat intrapersonal dan interpresonal, serta menjembatani kesenjangan antara
diri dan orang lain. Daniel goleman telah menulis tentang emosi-emosi
intrapersonal atau di dalam diri dan
emosi interpersonal yaitu yang sama-sama dimiliki kita maupun orang lain atau
yang kita gunakan untuk berhubungan dengan orang lain.
Kita menggunakan SQ untuk untuk mencapai
perkembangan diri yang lebih utuh karena kita memilik potensi untuk itu. Kita
masing masing membentuk suatu karakter melalui gabungan pengalaman dan visi,
ketegangan antara apa yang benar-benar kita lakukan dan hal hal yang lebih
besar dan lebih baik yang mungkin kita lakukan. Pada tingkatan ego murni kita
kita adalah egois, ambisius terhadap materi, serba kaku dan sebagainya.
Akhirnya kita dapat menggunakan SQ kita untuk
berhadapan dengan masalah baik dan jahat, hidup dan mati, dan asal-usul sejati
dari penderitaan dan keputusan manusia. Kita terlalu sering berusaha
merasionalkan begitu saja masalah semacam ini, atau kita terhanyut secara
emosional atau hancur karenanya.
4.
Menguji SQ.
Tanda-tanda dari SQ sudah berkembang dengan baik
mencakup hal-hal berikut:
a.
Kemampuan bersikap fleksibel.
b.
Tingakt kesadaran yang tinggi.
c.
Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan.
d.
Kemampuan untuk menghadapi dan melampui rasa sakit.
e.
Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
f.
Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu.
g.
Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal.
h.
Kecenderungan nyata untuk bertanya”mengapa” ? atau bagaimana
jika? Untuk mencari jawaban jawaban yang mendasar.
i.
Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai bidang mandiri yaitu memiliki
kemudahan untuk bekerja melawan konvensi seseorang yang SQ nya juga cenderung
menjadi seorang pemimpin yang penuh pengabdian, yaitu seseorang yang
bertanggung jawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih tinggi kepada
orang lain dan memberikan petunjuk penggunaannya.
5.
Cara untuk Meningkatkan SQ.
SQ
kolektif dalam masyarakt modern adalah rendah. Kita berada dalam budaya yang
secara spiritual bodoh yang ditandai oleh materialisme, ketergesaan, egoisme
diri yang sempit, kehilangan makna dan komitmen. Namun, sebagai individu kita
dapat meningkatkan SQ kita evolusi lebih jauh dari masyarakat bergantung pada
individu yang melakukan peningkatan itu. Secara umum, kita dapat meningkan SQ
kita dengan meningkatkan penggunaan proses tersier psikologis kita yaitu
kecenderungan kita untuk bertanya mengapa, untuk mencari keterkaitan anatara
segala sesuatu, untuk membawa ke permukaan asumsi-asumsi mengenai makna di
balik atau di dalam sesuatu, menjadi lebih suka merenung, sedikit menjangkau
diluar diri kita, kita bertanggung jawab, lebih sadar diri, lebih jujur terhadap
diri sendiri dan lebih pemberani.
Melalui
penggunaan kecerdasan spiritual kita secara terlatih dan melalui kejujuran
serta keberanian diri yang dibutuhkan bagi pelatihan semacam itu, kita dapat
berhubungan kembali dengan sumber dan makna terdalam di dalam diri kita. Kita
dapat menggunakan perhubungan itu untuk mencapai tujuan dan proses yang lebih
luas dari diri kita. Dalam pengabdian semacam itu, kita akan menemukan
keselamatan kita. Keselamatan terdalam kita mungkin terletak pada pengabdian
imajinasi kita yang terdalam.[8]
D.
Pendekatan Pembelajar Berdasarkan IQ, EQ dan SQ.
Didalam kehidupan sehari-hari orang yang memiliki kemampuan tinggi
(IQ) namun gagal karena rendahnya kecerdasan emosi yang dimiliki. Sebaliknya
orang yang memiliki kemampuan intelektual biasa saja namun sukses dalam bekerja
ataupun dalam berhubungan dengan masyarakat. Di dalam pendidikan yang ada
terlalu menekankan pentingnya nilai akademik (kecerdasan otak atau IQ ) saja.
Pada
dasarnya anak yang memiliki IQ tinggi akan mudah menerima pengetahuan atau
pelajaran yang disampaikan oleh guru ataupun pendidik, baik dalam keterampilan
bahasa, berbicara ataupun menghitung tetapi jika seorang anak memiliki IQ
rendah maka ia memiliki kemampuan yang kurang optimal dalam mencerna pengetahuan
yang diberikan, begitu pula dengan EQ seseorang biasanya orang yang mempunyai
EQ tinggi dapat dengan mudah merasakan hubungannya dengan manusia seperti rasa
empati, sosialisasi, organisasi dan penyesuaian diri terhadap lingkungan atau
masyarakat tetapi orang yang memilki EQ rendah akan sulit bergaul dengan orang
lain, sama halnya dengan seorang anak yang memiliki IQ tinggi tetapi EQnya
rendah, mungkin secara akademik ia cerdas tetapi saat di lingkungan ia sulit
berkumpul dengan masyarakat karena kurangnya kecakapan sosilnya kurang. Hal ini
tidak jauh berbeda dengan adanya ESQ pada diri seseorang. Orang yang mempunyai
ESQ tinggi dapat mengambil hikmah yang dihadapi baik pengalamlan yang baik
maupun yang buruk, dan orang yang
mempunyai ESQ tinggi dapat memperbaiki pengalaman yang kurang baik. Sedangkan
orang yang memiliki ESQ rendah dengan mudah berputus asa. Contoh dalam
penerapan pembelajaran yaitu dalam kegiatan sekolah umum anak tersebut dapat
memperoleh IQ dan EQ, sedang ESQ pada saat anak mengikuti kegiatan belajar
dalam suatu kegiatan pendidikan non formal, seprti mengaji dan disitulah anak
dapat memperoleh pembelajaran-pembelajaran yang lebih mengarah pada ESQ
manusia.
E.
Analisa
Manusia
merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang dibekali dengan kemampuan otak dan daya
nalar yang disebut dengan IQ, kemampuan berfikir dianggap sebagai hal yang
paling penting sedangkan potensi lain merupakan hal yang sekunder, pola pikir
dan cara pandang yang demikian telah mewujudkan manusia terdidik dengan otak
yang cerdas tetapi sikap, perilaku dan pola hidup sangat minim dengan kemampuan
intelektualnya. Banyak orang yang cerdas secara akademik tetapi gagal dalam
pekerjaan dan kehidupan sosialnya, mereka memiliki kepribadian yang terbelah
(split personality) dimana tidak terjadi integrasi antara otak dan hati,
kondisi tersebut pada gilirannya menimbulkan krisis multi dimensi yang sangat
memprihatinkan.
Seorang
yang ber EQ tinggi namun mempunyai IQ yang lemah maka akan sulit menjalin
komunikasi dan berorganisasi dengan baik, misalnya jika seorang anak secara
akademik lemah maka ia akan sulit untuk menerima pelajaran dari guru ataupun
belajar secara berkelompok dari sekolah namun ia mempunyai emosional yang
tinggi sehingga dia mampu berempati, memahami, mengendalikan emosi, bersosialisasi
dan menempatkan dirinya secara tepat sesuai dengan situasi yang ada. Seseorang
juga dapat sukses dengan mempunyai kecerdasan IQ dan EQ, contohnya yaitu
seorang koruptor, tentunya dia harus cerdas berstrategi, serta pelaksanaan
strategi, bernegosiasi, berkomunikasi, dan mampu merebut hati orang agar mau di
ajak berkompromi dengannya. Mereka terlihat mempunyai semangat juang tinggi,
selalu tampak berwibawa dan percaya diri namun niat dan ahklaknya sangat buruk,
itulah bentuk IQ, EQ bila tidak memiliki SQ.
Dengan
minimnya kesadaran individu akan pentingnya keseimbangan ketiga unsur tersebut
maka mereka akan lebih mementingkan salah satunya dan meninggalkan unsur lain,
akibatnya akan terjadi ketidakseimbangan pada diri manusia dalam pembentukan
kecerdasan secara sempurna. Bahkan di beberapa sekolah, mata pelajaran agama
atau Pendidikan Agama Islam yang seharusnya menjadi medium utama dalam
penerapan dan pengembangan kecerdasan spiritual, kebanyakan hanya berbasis
hapalan yang lebih mengacu pada kecerdasan intelektual saja. Penerapan dan
sistim pendidikan kita sekarang mungkin sudah sesuai dengan prinsip
perkembangan kecerdasan intelektual seperti pendidikan matematika, bahasa,
sejarah dan pelajaran lainnya yang bahkan sampai 3 atau 4 kali pertemuan dalam
satu minggu, sedangkan untuk mat elajaran agama hanya 2 jam pertemuan dalam
satu minggu.
Hal
tersebut memberi dampak perubahan bahwa kesukesan seseorang tidak hanya
ditentukan oleh kemampuan otak dan daya pikir saja akan tetapi lebih banyak
ditentukan oleh kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), dan
selama ini banyak kesalahan dalam pembinaan pembentukan Sumber Daya Manusia
yakni terlalu mengedepankan IQ dan mengabaikan EQ serta SQ, untuk menghasilkan
pribadi yang utuh secara intelektual, emosional, dan spiritual maka harus mampu
menggabungkan dan menyatukan IQ, EQ, dan SQ secara maksimal karna ketiga
kecerdasan ini adalah perangkat yang bekerja dalam satu sistem yang saling
terkait dalam diri manusia yang tidak dapat dipisahkan secara fungsinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan teori
diatas sudah sangat jelas bahwa manusia merupakan makhluk yang sangat sempurna
atas ciptaan Tuhannya karena merupakan satu-satunya makhluk yang mempunyai IQ,
EQ dan SQ. Ketiga komponen tersebut tidak dapat dipisahkan meskipun
perkembangannya berbeda-beda dan mempunyai proporsi yang berbeda, sehingga
terkadang terjadi ketidak seimbangan dalam kecerdasan seseorang, hal tersebut
dipengaruhi oleh banyak faktor baik intern ataupu ekstern. Sehingga diperlukan
upaya untuk meningkatkan ketiga komponen tersebut melalui berbagai kegiatan.
B.
Saran
Dengan mengucap syukur alhamdulillah pada Allah SWT, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tentunya
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kami masih memerlukan kritik dan
saran yang membangun serta bimbingan, terutama dari Dosen. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi kami sebagai penyusun.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta:
Rajawali Pers, 2012.
Munandir,
Ensiklopedia Pendidikan, Malang: UM
Press, 2001.
Doe,
Mimi dan Marsha Walch, 10 Prinsip
Spiritual Parenting: Bagaimana Menumbuhkan dan Merawat Sukma Anak Anda,
Bandung: Kaifa, 2001.
Zohar,
Danah dan Ian Marshal, SQ Kecerdasan
Spiritual, Bandun: Mizan, 2001.
Suharsono,
Melejitkan IQ, IE dan IS, Depok:
Inisiasi Press, 2004.
www.
Psikologizone.com
[1]
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet. 10, hlm.100.
[2]
www.psikologizone.com
[4]Mimi
Doe,
10 Prinsip Spiritual Parenting: Bagaimana Menumbuhkan dan Merawat Sukma
Anak Anda (Bandung: Kaifa, 2001), hlm. 20
[5]Danah Zohar , SQ
Kecerdasan Spiritual, (Bandung:Mizan, 2001), hlm. 3-5
[6]Suharsono,
Melejitkan IQ, IE, dan IS (Depok:
Inisiasi Press, 2004), hlm. 145-147
[7]Ibid.,
148-149.
[8]Ibid., hlm.
14-15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar