Minggu, 05 Juli 2015

IQ, EQ, SQ

SELAMAT DATANG
MAKALAH PSIKOLOGI BELAJAR

IQ, EQ, SQ

Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Belajar
Diampu oleh Bpk.Mizanto,Spd.I





Kelompok 6
1.         Fitrotun Nahdiyah
2.         Agutina Setyo Rini
3.         Komariyah
4.         Rukoyah
5.         Amin Alifatuloh
Semester : III

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN
DI WONOSOBO
2014


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul IQ, EQ, SQ. Makalah ini di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Belajar.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada :
Bapak Dosen Mata Kuliah Psikologi Belajar., Mizanto.,Spd.I, yang telah memberikan izin untuk menyusun makalah ini.
Rekan-rekan yang telah banyak membantu dan memberi saran sehingga makalah ini terselesaikan.
Makalah ini tentu masih banyak kesalahannya,untuk itu penulis memohon kritik dan saran yang membangun.
Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Wassalamu.alaikum Wr.wb

Wonosobo, 11 November 2014







DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................      1
DAFTAR ISI...........................................................................................................      2
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.............................................................................................      3
B.     Rumusan Masalah........................................................................................      3
C.     Tujuan..........................................................................................................      3
BAB II PEMBAHASAN
A.    IQ (Intelligence Quotient)...........................................................................      4
B.     EQ (Emotional Quotient)............................................................................    11
C.     SQ (Spiritual Quotient)................................................................................    14
D.    Pendekatan Pembelajaran Berdasarkan IQ, EQ, SQ...................................    19
E.     Analisa.........................................................................................................    20
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan..................................................................................................    21
B.     Saran............................................................................................................    21
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................    22









BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan paling sempurna oleh Allah SWT diantara ciptanNya yang lain, dimana manusia memiliki hati untuk merasakan, naluri dan akal untuk berfikir sehingga manusia menempati posisi yang paling tinggi diantara makhluk yang lain. Dengan kesempurnaanya itu manusia dalam berfikir diberi kualitas serta kecerdasan yaitu seperti kecerdasan IQ, EQ dan SQ yang merupakan kecerdasan berfikir, emosi serta spiritual.
Tingkat kecerdasan seseorang dapat diukur dengan seberapa tinggi tingkatan IQ nya dengan berapa macam cara, namun tingkat kecerdasan seseorang dikatan bagus jika ketiga elemen tersebut saling bekerja sama secara seimbang dan optimal yang terutama diasah adalah kecerdasan spiritual atau SQ sebagai modal pembentuk IQ dan SQ, serta adanya pengelolaan atau usaha untuk terus mengasah ketajaman kualitas kecerdasan manusia yang lebih tinggi.

B.     Rumusan Masalah
a.    Apa sajakah pembahasan mengenai IQ, EQ dan SQ?
b.    Bagaimana Pendekatan Belajar yang Berkaitan dengan IQ, EQ dan SQ?
c.    Bagaimana Analisa terhadap ketiga hal tersebut?

C.    Tujuan
a.    Mengetahui Pengertian dan Komponen-komponen dalam Teori IQ, EQ dan SQ.
b.    Memahami Pendekatan Belajar Berdasar IQ, EQ dan SQ
c.    Dapat Menganalisis Permasalah yang berkaitan dengan IQ, EQ dan SQ






BAB II
PEMBAHASAN
A.       IQ (Intelligence Quotient)
1.    Pengertian IQ
Menurut David Wechsler, inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. Sedangkan IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan, dapat dikatakan pula IQ atau Intelligence Quotient adalah ukuran kemampuan intelektual, analisis, logika, dari seseorang yang merupakan kecerdasan otak untuk menerima, menyimpan dan mengolah informasi menjadi fakta.
Tingkat kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar umur 3 tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan atau gen.
IQ atau daya tangkap ini dianggap takkan berubah sampai seseorang dewasa, kecuali bila ada sebab kemunduran fungsi otak seperti penuaan dan kecelakaan karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.
IQ yang tinggi memudahkan seorang murid belajar dan memahami berbagai ilmu. Daya tangkap yang kurang merupakan penyebab kesulitan belajar pada seorang murid, disamping faktor lain, seperti gangguan fisik ( sakit demam, lemah, sakit-sakitan) dan gangguan emosional. Awal untuk melihat IQ seorang anak adalah pada saat ia mulai berkata-kata. Ada hubungan langsung antara kemampuan bahasa si anak dengan IQ-nya, apabila seorang anak dengan IQ tinggi masuk sekolah, penguasaan bahasanya akan lebih cepat dan banyak dibandingkan dengan anak yang IQnya rendah.

Laurel Schmidt membagi kecerdasan dalam tujuh macam, antara lain yaitu:
1.     Kecerdasan visual (kecerdasan gambar) yaitu untuk keterampilan atau bakat arsitak, seniman dan designer.
2.     Kecerdasan verbal atau linguistik (kecerdasan berbicara)  yaitu keterampilan bagi mereka yang memiliki kecerdasan pengarang atau menulis, guru, penyiar radio, pemandu acara, presenter, pengacara, penterjemah, dan pelawak.
3.     Kecerdasan musik yaitu keterampilan seperti pengubah lagu, pemusik, penyanyi, disc jokey, guru seni suara, kritikus musik, ahli terapi musik, audio mixier (pemandu suara dan bunyi).
4.     Kecerdasan logis atau matematis (kecerdasan angka) yaitu keterampilan bagi mereka yang memiliki kecerdasan seperti ahli metematika, ahli astronomi, ahli pikir, ahli forensik, ahli tata kota , penaksir kerugian asuransi, pialang saham.
5.     Kecerdasan interpersonal atau cerdas diri yaitu keterampilan atau keahlian bagi mereka yang memiliki kecerdasan ini adalah ulama, pendeta, guru, pedagang, resepsionis, pekerja sosial, perantara dagang, pengacara, manajer sumber daya manusia.
6.     Kecerdasan intrapersonal (cerdas bergaul) yaitu profesi yang cocok bagi mereka yang memiliki kecerdasan peneliti, ahli kearsipan, ahli agama, ahli budaya, ahli purbakala, ahli etika kedokteran.
2.    Pengukuran Inteligensi
Pada tahun 1904, dua orang asal Perancis yaitu Alfred Binet dan Theodor Simon merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus yaitu anak-anak yang kurang pandai, alat tes itu dinamakan tes Binet-Simon. Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Salah satu reaksi atas tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum, Charles Sperman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak. Di samping alat-alat tes tersebut, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat.
3.    Faktor-faktor yang mempengaruhi IQ anak, antara lain yaitu:
a.    Faktor bawaan atau keturunan.
Beberapa kalangan berpendapat bahwa faktor genetik dapat mempengaruhi taraf intelegensi seseorang. Jika kedua orang tua memiliki intelegensi, besar kemungkinan anaknya memiliki intelegensi tinggi pula. Akan tetapi tidak semua fakta itu benar, ada yang kedua orang tuanya memiliki taraf intelegensi tinggi tetapi mempunyai anak dengan taraf intelegensi tingkat rata-rata atau bahkan dibawah rata-rata.
Beberapa ahli berpendapat bahwa pengaruh orang tua yang sedemikian besar terhadap perkembangan intelegensi anak adalah lebih disebabkan oleh upaya orang tua itu sendiri dalam mendidik anak-anaknya. Dr. Bernard Devlin dari fakultas kedokteran universitas Pitsburg Amerika Serikat, memperkirakan faktor genetika memiliki peranan sebesar 48% bentuk IQ anak, sedangkan sisanya adalah faktor lingkungan, termasuk ketika anak masih dalam kandungan.
Jadi orang tua yang memiliki IQ tinggi bukan jaminan dapat menghasilkan anak ber IQ tinggi pula.
b.      Faktor Lingkungan
1.    Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang bertanggung jawab terhadap pendidikan dan perkembangan anak dalam berbagai aspek, tugas penting orang tua akan sangat mendukung apabila mampu menciptakan suasana rumah menjadi tempat tinggal sekaligus sebagai basis pendidikan. Maka dari itu lingkungan keluarga harus memberikan stimulus positif untuk menyiapkan kondisi yang kondusif  guna tercapainya perkembangan yang optimal bagi seorang anak.
Pengaruh lingkungan keluarga terhadap perkembangan intelegensi anak cukup besar, hasil penelitian menyimpulkan bahwa lingkungan keluarga berkorelasi secara signifikan dengan perkembangan intelegensi anak. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Garber Ware disimpulkan bahwa semakin tinggi kualitas lingkungan rumah, cenderung semakin tinggi pula IQ anak.
Ada dua unsur penting dalam keluarga yang sangat mempengaruhi perkembangan intelegensi anak yaitu:
a.       Adanya jumlah buku, majalah atau materi belajar lainnya yang terdapat dalam lingkungan rumah.
b.      Adanya ganjaran, pengakuan, dan harapan yang diterima anak dari orang tua atas prestasi akademiknya.
Dalam melaksanakan kegiatan belajar di lingkungan rumah, orang tua perlu menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.       Anak perlu diperhatikan.
Perhatian kepada anak merasa senang dan terpadu dalam melakukan kegiatan. Perhatian yang proporsional akan memunculkan motivasi atau semangat anak, motivasi ini akan menggerakkan daya cipta yang didorong oleh potensi yang sudah ada pada diri anak.
b.      Anak mengalami tumbuh kembang yang unik.
Kegiatan belajar yang dilakukan harus disesuaikan dengan tumbuh kembang anak yang terjadi. Anak memiliki gaya belajar yang berbeda, ada anak yang lebih cepat mengolah pengetahuan dengan pendengaran (auditory), gerakan (kinesthetic), dan dengan cara melihat (visual).

c.       Waktu kegiatan belajar di rumah bisa lebih banyak.
Di rumah dapat digunakan untuk melakukan kegiatan belajar dengan tidak meninggalkan pertimbangan memberi keleluasaan dan kebebasan anak dalam melakukan kegiatan.

2.    Lingkungan sekolah
Lingkungan sekolah yaitu lingkungan formal yang mempunyai struktur dan program yang baku. Menurut hasil penelitian, bahwa otak manusia pada saat dilahirkan kurang lebih sama. Makin banyak otak digunakan makin banyak jaringan otak terbentuk, sebaliknya jika otak jarang digunakan maka akan semakin berkurang jaringan otak tersebut. Maka dari itu, pendidikan anak usia dini sangat penting dalam upaya optimalisasi potensi anak, dengan demikian tuntutan bagi pendidik untuk menjadikan pengalaman belajar anak menjadi pengalaman belajar yang menyenangkan untuk mengoptimalkan perkembangan anak di masa yang akan datang.

3.    Lingkungan masyarakat
Dalam masyarakat anak akan bergaul dengan orang lain sehingga baik langsung maupun tidak langsung akan saling mempengaruhi pembentukan pribadi anak.
Adapun fungsi peranan masyarakat dalam pembentukan pola pikir anak.
a.         Dengan melihat yang terjadi di dalam masyarakat, anak akan mendapatkan pengalaman langsung sehingga pengalaman tersebut akan mudah diingat.
b.        Pendidikan anak-anak yang berasal dari masyaakat akan kembali kemasyarakat juga.
c.         Di masyarakat banyak sumber pengetahuan yang mungkin belum didapat dari lingkungan formal lain.[1]

4.    Langkah-langkah yang perlu dikembangkan untuk menumbuhkan IQ anak  antara lain:
a.         Melakukan pembelajaran secara dini bagi anak
Kecerdasan anak tidak dapat tumbuh dengan sendirinya, tetapi harus dirangsang, diantaranya dengaan melakukan pembelajaran secara dini bagi anak. Seperti diperkenalkaan pada kegiatan membaca dan menulis. Kegiatan semacam ini dapat merangsang daya ingat anak terhadap benda tersebut sekaligus memperkenalkan anak akan bentuk huruf dan tulisan. Begitu pula dengan kemampuan dasar matematika, dapat dirangsang melalui cara sederhana seperti menghitung jumlah anak tangga, menghitung panjang masa dengan jengkal si anak, mengukur tinggi dan berat badannya sendiri.
Membangkitkan potensi anak tidak harus menggunakan waktu yang terjadwal atau waktu khusus, namun dari semua kegiatan sehari-hari yang dialami oleh anak bisa dijadikan media belajar anak untuk merangsang dan mengasah segala potensi anak, seperti yang dikatakaan oleh Dr. Seto Mulyadi mengajarkan kepada orang tua agar mengaitkan semua kegiatan sehari-hari sebagai suatu aktivitas yang menyenangkan, sehingga dapat menumbuhkan keingintahuan yang besar serta kemampuaan logika yang baik.
b.        Membangun stimulus pada anak.
Pengasuhan dan penyediaan lingkungan yang kaya stimulus juga sangat penting dalam perkembangan IQ anak, tanpa adanya stimulasi yang baik perkembangan intelegensi baik intelektual maupun emosional tidak akan berkembang maksimal. Hasil puncak stimulasi lingkungan yang optimal terjadi ketika anak berumur 6 tahun, maka dari itu orang tua harus bisa memanfaatkan sebaik mungkin dan memberikan stimulasi seoptimal mungkin.
Dalam memberikan stimulasi pada anak, ada lima aspek perkembangan yang dibutuhkan yaitu:
1.        Bahasa
Perkembangan bahasa sangat tergantung dari stimulasi banyak mendengar kata-kata melalui pembicaraan radio, type, dan kata-kata yang biasa diucapkan oleh orang tuanya, serta melalui dongeng atau cerita.

2.        Perkembangan Emosi
Perkembangan emosi anak membutuhkan syarat mutlak yakni melalui pola asuh yang penuh perhatian dan kasih sayang.
3.        Musik
Stimulasi melalui belajar musik sejak dini dapat membangun kapasitas otak untuk berfikir visual spasial, matematika dan logika. Masa yang paling baik adalah usia tiga sampai sepuluh tahun sebab stimulasi suara musik telah sempurna ditangkap oleh otak.
5.    Beberapa ciri dari perilaku individu yang memiliki kecerdasan tinggi adalah sebagai berikut:
a.         Memiliki daya adaptasi yang tinggi yaitu perilaku cerdas cepat membaca dan menyesuaikan diri dengan lingkungan.
b.        Perilaku cerdas berorientasi kepada keberhasilan yaitu tidak takut gagal dan selalu optimis.
c.         Memiliki sikap jasmaniyah yang baik, yaitu jika seorang siswa yang intelegen ketika pelajaran berlangsung duduk dengan baik, menempatkan bahan yang dipelajari, dan memegang alat tulis dengan baik.
d.        Mempunyai motivasi yang tinggi.
e.         Memiliki kemampuan yang baik dalam bekerja dalam bilangan dan keevesiensian dalam berbahasa.
f.         Kemampuan mengamati dan menarik kesimpulan dari hasil pengamatan secara cepat dan tepat.
g.        Memiliki kemampuan mengingat yang cukup tinggi dan mempunyai imajinasi yang tinggi
6.    Beberapa cara untuk meningkatkan IQ (Kecerdasan Intelektual) yaitu:
a.    Makan secara teratur, serta makan makanan yang mengandung nutrisi untuk kesehatan otak.
b.    Istirahat yang cukup.
c.    Memotivasi diri untuk selalu optimis dan menghilangkan rasa malas.
d.    Selalu berfikir positif.
e.    Dapat membagi waktu untuk berbagai kegiatan yang dilakukan.
f.     Dapat mengembangkan keterampilan yang dimiliki melalui pelatihan khusus.
B.   EQ (Emotional Quetient)
1.         Pengertian EQ
Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali, mengendalikan, dan menata perasaan sendiri dan orang lain secara mendalam sehingga kehadirannya menyenangkan dan didambakan oleh oaraang lain.
Daniel Goleman didalam buku kecerdasan emosi memberi tujuh kerangka kerja kecakapan ini, yaitu:
1.    Kecakapan pribadi yaitu kecakapan dalam mengelola diri sendiri.
2.    Kesadaran diri yaitu bentuk kecakapan utuk mengetahui kondisi diri sendiri dan rasa percaya diri yang tinggi.
3.    Pengaturan diri yaitu bentuk kecakapan dalam mengendalikaan diri dan mengembangkan sifat seperti dipercaya , kewaspadaan , adaptabilitas, dan inovasi.
4.    Motivasi yaitu bentuk kecakapan untuk meraih prestasi , berkomitmen, berinisiatif, dan optimis.
5.    Kecakapan sosial yaitu bentuk kecakapan dalam menentukan seseorang harus menangani suatu hubungan.
6.    Empati yaitu bentuk kecakapan untuk memahami orang lain, berorientasi pelayanan dengan mengembangkan orang lain. Mengatasi keragmana orang lain dan kesadaran politis.
7.   Ketrampilan sosial yaitu betuk kecakapan dalam menggugah tenggapan yang dikehendaki pada orang lain . kecakapan ini meliputi pengaruh , komunikasi, kepemimpinan, katalisator perubahan, manajemen konflik, pengikat jaringan, kolaboradi dan kooperasi serta kemampuan tim.
2.         Jenis dan Sifat Emosi
Kecerdasan emosional juga dapat diartikan dengan kemampuan untuk “menjinakkan” emosi dan mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih positif. Seseorang dapat melakukan sesuatu dengan didorong oleh emosi, dalam arti bagaimana yang bersangkutan dapat menjadi begitu rasional di suatu saat dan menjadi begitu tidak rasional pada saat yang lain. Dengan demikian, emosi mempunyai nalar dan logikanya sendiri. Tidak setiap orang dapat memberikan respon yang sama terhadap kecenderungan emosinya. Seorang yang mampu mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi manusia-manusia utama dilihat dari berbagai segi.
Hubungan antara otak dan emosi mempunyai kaitan yang sangat erat secara fungsional. Antara satu dengan lainnya saling menentukan. Daniel Goleman menggambarkan bahwa otak berfikir harus tumbuh dari wilayah otak emosional. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa kecerdasan emosional hanya bisa aktif di dalam diri yang memiliki kecerdasan intelektual.
Jenis dan sifat emosi dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.    Amarah: Bringas, mengamuk, benci, marah besar, jenkel, kesal hati, terganggu, berang, tersinggung, bermusuhan, sampai kepada kebencian bersifat patologis.
2.    Kesediahan: Pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi berat.
3.    Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, waswas, perasaan takut sekali, khawatir, waspada, tidak tenang, negeri, kecut, fobia, dan panik.
4.    Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, dan batas ujungnya mania.
5.    Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih.
6.    Terkejut: terkesima, takjub, terpana.
7.    Jengkel: hina, jijik, muak, mual, dan benci.
8.    Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, aib, dan hati hancur lebur.[2]
3.        Cara Meningkatkan Kecerdasan Emosi (EQ).
1.    Mengenali emosi diri
Ketrampilan ini meliputi kemampuan Anda untuk mengidentifikasi apa yang sesungguhnya Anda rasakan.
2.    Melepaskan emosi negative
Kemampuan untuk memahami dampak dari emosi negatif terhadap diri Anda.
3.    Mengelola emosi diri sendiri
Ada bebrapa cara untuk mengelola emosi yang pertama adalah menghargai emosi dan menyadari dukungannya kepada Anda. Kedua berusaha mengetahui pesan yang disampaikan emosi, dan meyakini bahwa kita pernah berhasil menangani emosi ini sebelumnya. Ketiga adalah dengan bergembira kita mengambil tindakan untuk menanganinya. Kemampuan kita mengelola emosi adalah bentuk pengendalian diri yang paling penting dalam manajemen diri, karena kitalah sesungguhnya yang mengendalikan emosi atau perasaan kita, bukan sebaliknya.
4.    Memotivasi diri sendiri.
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Kendali diri emosional--menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang.
5.    Mengenali emosi orang lain
Mengenali emosi orang lain berarti kita memiliki empati terhadap apa yang dirasakan orang lain. Penguasaan ketrampilan ini membuat kita lebih efektif dalam berkomunikasi dengan orang lain. Inilah yang disebut sebagai komunikasi empatik. Berusaha mengerti terlebih dahulu sebelum dimengerti. Ketrampilan ini merupakan dasar dalam berhubungan dengan manusia secara efektif.
6.    Mengelola emosi orang lain
Jika ketrampilan mengenali emosi orang lain merupakan dasar dalam berhubungan antar pribadi, maka ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan pilar dalam membina hubungan dengan orang lain. Manusia adalah makhluk emosional. Semua hubungan sebagian besar dibangun atas dasar emosi yang muncul dari interaksi antar manusia.


7.    Memotivasi orang lain
Ketrampilan memotivasi orang lain adalah kelanjutan dari ketrampilan mengenali dan mengelola emosi orang lain. Ketrampilan ini adalah bentuk lain dari kemampuan kepemimpinan, yaitu kemampuan menginspirasi, mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan membangun kerja sama tim yang tangguh dan andal.
4.        Karakter Orang yang Ber-EQ Tinggi.
1.     PRIA
a.         Secara sosial mantap.
b.        Mudah bergaul.
c.         Tidak mudah gelisah dan takut.
d.        Bertanggungjawab.
e.         Humoris.
f.         Bermoral.
g.        Simpatik dan hangat dalam berhubungan.
h.        Kehidupan emosionalnya kaya dan wajar.
i.          Nyaman dengan dirinya dan orang lain.
2.     WANITA
a.         Tegas dan berani mengungkapkan perasaannya secara langsung dan wajar.
b.        Berfikir positif, mudah bergaul dan ramah.
c.         Mudah menerima orang baru.
d.        Nyaman dengan dirinya, ceria, terbuka terhadap pengalamannya, sensual, dan spontan.
C.  SQ (Spiritual Quetient)
1.      Pengertian SQ.
Kecerdasan spritual tersusun dalam dua kata yaitu “kecerdasan” dan “spiritual”. Kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, terutama masalah yang menuntut kemampuan fikiran. Berbagai batasan-batasan yang dikemukakan oleh para ahli didasarkan pada teorinya masing-masing.[3] Ciri SQ definisi menurut para ahli Spiritual adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Ia memberi arah dan arti bagi kehidupan kita tentang kepercayaan mengenai adanya kekuatan non fisik yang lebih besar dari pada kekuatan diri kita yang merupakan suatu kesadaran untuk  menghubungkan kita langsung dengan Tuhan, atau apa pun yang kita namakan sebagai sumber keberadaan kita.[4]
Jadi berdasarkan pendapat -pendapat tersebut kecerdasan spiritual dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi dan memecahkan masalah persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menenempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Saat ini, pada akhir abad ke-20, serangkain data ilmiah terbaru, yang sejauh ini belum dibahas, menunjukan adanya “Q” jenis ketiga. Gambaran utuh kecerdasan manusia dapat dilengkapi dengan perbincangan mengenai kecerdasan spiritual (SQ). Kamus webster mendefinikasikan ruh sebagai “prinsip yang menghidupkan atau vital, hal yang memberi kehidupan  pada organisme fisik dan bukan pada unsur materinya, nafas kehidupan. Pada dasarnya manusia adalah mahluk spiritual karena selalu terdorong oleh kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan mendasar atau pokok. Dalam pembahasan mengenai dasar neurologis  SQ, secara harfiah SQ beroperasi dari pusat otak yaitu dari fungi-fungsi penyatu otak. SQ mengintegrasikan semua kecerdasan kita, SQ menjadikan kita mahluk yang benar benar utuh secara intelektual, emosional, spiritual.[5]
2.      Memahami SQ
Banyak sekali karya kreatif, yang tentunya dihasilkan oleh orang-orang cerdas, yang manfaatnya banyak dirasakan masyarakat. Lalu apa makna kreatif ini bagi para penciptanya sendiri. Sudah barang tentu sangat banyak disamping materi, pengahargaan, berbagai kemudahan dan perlakuan istimewa, ia telah berarti mewujudkan misi hidup manusia yang primordial, yakni khalifah Allah yang menjadi rahmat bagi semesta.
Ada tiga pola kerja manusia yang harus kita mengerti, pertama pola kerja manual yakni pola kerja yang mengandalkan otot atau tenaga fisik seperti perkerjaan angkat junjung membersihkan rumah dan sebagainya. Kedua pola kerja admisnistratif yakni pola pekerjaan yang mengandalkan rasio seperti mengetik, menghitung dan sebagainya. Ketiga pola pekerjaan kreatif yakni pola pekerjaan yang lebih mengandalkan kemampuan dan kesucian inteleksi. Berbeda dengan rasio inteleksi lebih merujuk pada kemampuan manusia untuk menyerap inspirasi, simbol-simbol dan melahirkan ide-ide baru. Ia lebih bersifat spiritual dan metafisik dan disini campur tangan illahi lebih bersifat langsung karena itulah dapat dikatakan bahwa inteleksi lebih merujuk pada pengertian qul (hati), dan aql (akal) dalam maknanya prisipal. Model kecerdasan pun lebih bersifat spiritual, yang terfleksi dalam penemuan-penemuan baru, orisinil, kreatif, dan inspiratif.[6]
Personofikasi paling sempurna tipe manusia yang berhasil mengaktualkan intelegensi spiritual adalah Rasulullah SAW. Beliau dari kecil adalah orang yang Ummi, tidak bisa membaca dan menulis secara literal dan karena itu tak satupun buku telah dibacanya, namun demikian beliaulah manusia paling arif dan cerdas baik sebelum menjadi rasul apalagi ketika menjadi rasul.
Ekespresi kecerdasan yang ditunjukan rasulullah itu begitu  murni dan asli tetapi hasilnya luar biasa. Lalu siapakah yang mengajari beliau, sehingga memiliki kecerdasan demikian cemerlang? Dalam batas-batas manusiawi, tak ada seorangpun yang mengajari beliau, tetapi bisa dikatakan dengan masalah kecerdaasan ini adalah karena beliau memelihara fitrahnya sendiri secara baik, tanpa mengotorinya dengan perilaku buruk, egoisme dan sebagainya, sehingga fitrah itulah menjadi aktual. Dengan fitrah itulah beliau mempresepsi, berinteraksi dan mengantisipasi persoalan persoalan kehidupan.[7]


3.      Menggunakan SQ
Dalam istilah evolusioner, karya neurobiologis tentang bahasa dan representasi simbolis deacon menunjukan bahwa kita telah menggunakan SQ secara harfiah untuk menumbuhkan otak manusia kita. SQ telah menyalakan kita untuk menjadi manusia apa adanya sekarang dan memberi potensi untuk menyala lagi untuk tumbuh dan berubah  serta menjalani lebih lanjut evolusi potensi manusiawi kita.
Kita menggunakan SQ untuk berhadapan dengan masalah eksistensial yaitu saat kita secara pribadi merasa terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran, dan masalah masa lalu kita misalnya akibat penyakit dan kesedihan. SQ menjadikan kita sadar bahwa kita mempunyai masalah eksitensial dan membuat kita mampu mengatasinya atau setidaknya bisa berdamai dengan masalah tersebut.
Kita dapat menggunakan SQ untuk menjadi lebih cerdas secara spiritual dalam beragama. SQ membawa kita ke jantung segala hal, sesuatu ke kesatuan dibalik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata. SQ mampu menghubungkan kita dengan makna dan ruh esensial dibelakang semua agama besar.
SQ memungkinkan kita untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpresonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri dan orang lain. Daniel goleman telah menulis tentang emosi-emosi intrapersonal atau  di dalam diri dan emosi interpersonal yaitu yang sama-sama dimiliki kita maupun orang lain atau yang kita gunakan untuk berhubungan dengan orang lain.
Kita menggunakan SQ untuk untuk mencapai perkembangan diri yang lebih utuh karena kita memilik potensi untuk itu. Kita masing masing membentuk suatu karakter melalui gabungan pengalaman dan visi, ketegangan antara apa yang benar-benar kita lakukan dan hal hal yang lebih besar dan lebih baik yang mungkin kita lakukan. Pada tingkatan ego murni kita kita adalah egois, ambisius terhadap materi, serba kaku dan sebagainya.
Akhirnya kita dapat menggunakan SQ kita untuk berhadapan dengan masalah baik dan jahat, hidup dan mati, dan asal-usul sejati dari penderitaan dan keputusan manusia. Kita terlalu sering berusaha merasionalkan begitu saja masalah semacam ini, atau kita terhanyut secara emosional atau hancur karenanya.
4.      Menguji SQ.
Tanda-tanda dari SQ sudah berkembang dengan baik mencakup hal-hal berikut:
a.    Kemampuan bersikap fleksibel.
b.    Tingakt kesadaran yang tinggi.
c.    Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan.
d.   Kemampuan untuk menghadapi dan melampui rasa sakit.
e.    Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
f.     Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu.
g.    Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal.
h.    Kecenderungan nyata untuk bertanya”mengapa” ? atau bagaimana jika? Untuk mencari jawaban jawaban yang mendasar.
i.      Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog  sebagai bidang mandiri yaitu memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi seseorang yang SQ nya juga cenderung menjadi seorang pemimpin yang penuh pengabdian, yaitu seseorang yang bertanggung jawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih tinggi kepada orang lain dan memberikan petunjuk penggunaannya.
5.      Cara untuk Meningkatkan SQ.
SQ kolektif dalam masyarakt modern adalah rendah. Kita berada dalam budaya yang secara spiritual bodoh yang ditandai oleh materialisme, ketergesaan, egoisme diri yang sempit, kehilangan makna dan komitmen. Namun, sebagai individu kita dapat meningkatkan SQ kita evolusi lebih jauh dari masyarakat bergantung pada individu yang melakukan peningkatan itu. Secara umum, kita dapat meningkan SQ kita dengan meningkatkan penggunaan proses tersier psikologis kita yaitu kecenderungan kita untuk bertanya mengapa, untuk mencari keterkaitan anatara segala sesuatu, untuk membawa ke permukaan asumsi-asumsi mengenai makna di balik atau di dalam sesuatu, menjadi lebih suka merenung, sedikit menjangkau diluar diri kita, kita bertanggung jawab, lebih sadar diri, lebih jujur terhadap diri sendiri dan lebih pemberani.
Melalui penggunaan kecerdasan spiritual kita secara terlatih dan melalui kejujuran serta keberanian diri yang dibutuhkan bagi pelatihan semacam itu, kita dapat berhubungan kembali dengan sumber dan makna terdalam di dalam diri kita. Kita dapat menggunakan perhubungan itu untuk mencapai tujuan dan proses yang lebih luas dari diri kita. Dalam pengabdian semacam itu, kita akan menemukan keselamatan kita. Keselamatan terdalam kita mungkin terletak pada pengabdian imajinasi kita yang terdalam.[8]
D.  Pendekatan Pembelajar Berdasarkan IQ, EQ dan SQ.
Didalam kehidupan sehari-hari orang yang memiliki kemampuan tinggi (IQ) namun gagal karena rendahnya kecerdasan emosi yang dimiliki. Sebaliknya orang yang memiliki kemampuan intelektual biasa saja namun sukses dalam bekerja ataupun dalam berhubungan dengan masyarakat. Di dalam pendidikan yang ada terlalu menekankan pentingnya nilai akademik (kecerdasan otak atau IQ ) saja.
Pada dasarnya anak yang memiliki IQ tinggi akan mudah menerima pengetahuan atau pelajaran yang disampaikan oleh guru ataupun pendidik, baik dalam keterampilan bahasa, berbicara ataupun menghitung tetapi jika seorang anak memiliki IQ rendah maka ia memiliki kemampuan yang kurang optimal dalam mencerna pengetahuan yang diberikan, begitu pula dengan EQ seseorang biasanya orang yang mempunyai EQ tinggi dapat dengan mudah merasakan hubungannya dengan manusia seperti rasa empati, sosialisasi, organisasi dan penyesuaian diri terhadap lingkungan atau masyarakat tetapi orang yang memilki EQ rendah akan sulit bergaul dengan orang lain, sama halnya dengan seorang anak yang memiliki IQ tinggi tetapi EQnya rendah, mungkin secara akademik ia cerdas tetapi saat di lingkungan ia sulit berkumpul dengan masyarakat karena kurangnya kecakapan sosilnya kurang. Hal ini tidak jauh berbeda dengan adanya ESQ pada diri seseorang. Orang yang mempunyai ESQ tinggi dapat mengambil hikmah yang dihadapi baik pengalamlan yang baik maupun  yang buruk, dan orang yang mempunyai ESQ tinggi dapat memperbaiki pengalaman yang kurang baik. Sedangkan orang yang memiliki ESQ rendah dengan mudah berputus asa. Contoh dalam penerapan pembelajaran yaitu dalam kegiatan sekolah umum anak tersebut dapat memperoleh IQ dan EQ, sedang ESQ pada saat anak mengikuti kegiatan belajar dalam suatu kegiatan pendidikan non formal, seprti mengaji dan disitulah anak dapat memperoleh pembelajaran-pembelajaran yang lebih mengarah pada ESQ manusia.
E.     Analisa
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang dibekali dengan kemampuan otak dan daya nalar yang disebut dengan IQ, kemampuan berfikir dianggap sebagai hal yang paling penting sedangkan potensi lain merupakan hal yang sekunder, pola pikir dan cara pandang yang demikian telah mewujudkan manusia terdidik dengan otak yang cerdas tetapi sikap, perilaku dan pola hidup sangat minim dengan kemampuan intelektualnya. Banyak orang yang cerdas secara akademik tetapi gagal dalam pekerjaan dan kehidupan sosialnya, mereka memiliki kepribadian yang terbelah (split personality) dimana tidak terjadi integrasi antara otak dan hati, kondisi tersebut pada gilirannya menimbulkan krisis multi dimensi yang sangat memprihatinkan.
Seorang yang ber EQ tinggi namun mempunyai IQ yang lemah maka akan sulit menjalin komunikasi dan berorganisasi dengan baik, misalnya jika seorang anak secara akademik lemah maka ia akan sulit untuk menerima pelajaran dari guru ataupun belajar secara berkelompok dari sekolah namun ia mempunyai emosional yang tinggi sehingga dia mampu berempati, memahami, mengendalikan emosi, bersosialisasi dan menempatkan dirinya secara tepat sesuai dengan situasi yang ada. Seseorang juga dapat sukses dengan mempunyai kecerdasan IQ dan EQ, contohnya yaitu seorang koruptor, tentunya dia harus cerdas berstrategi, serta pelaksanaan strategi, bernegosiasi, berkomunikasi, dan mampu merebut hati orang agar mau di ajak berkompromi dengannya. Mereka terlihat mempunyai semangat juang tinggi, selalu tampak berwibawa dan percaya diri namun niat dan ahklaknya sangat buruk, itulah bentuk IQ, EQ bila tidak memiliki SQ.
Dengan minimnya kesadaran individu akan pentingnya keseimbangan ketiga unsur tersebut maka mereka akan lebih mementingkan salah satunya dan meninggalkan unsur lain, akibatnya akan terjadi ketidakseimbangan pada diri manusia dalam pembentukan kecerdasan secara sempurna. Bahkan di beberapa sekolah, mata pelajaran agama atau Pendidikan Agama Islam yang seharusnya menjadi medium utama dalam penerapan dan pengembangan kecerdasan spiritual, kebanyakan hanya berbasis hapalan yang lebih mengacu pada kecerdasan intelektual saja. Penerapan dan sistim pendidikan kita sekarang mungkin sudah sesuai dengan prinsip perkembangan kecerdasan intelektual seperti pendidikan matematika, bahasa, sejarah dan pelajaran lainnya yang bahkan sampai 3 atau 4 kali pertemuan dalam satu minggu, sedangkan untuk mat elajaran agama hanya 2 jam pertemuan dalam satu minggu.
Hal tersebut memberi dampak perubahan bahwa kesukesan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan otak dan daya pikir saja akan tetapi lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), dan selama ini banyak kesalahan dalam pembinaan pembentukan Sumber Daya Manusia yakni terlalu mengedepankan IQ dan mengabaikan EQ serta SQ, untuk menghasilkan pribadi yang utuh secara intelektual, emosional, dan spiritual maka harus mampu menggabungkan dan menyatukan IQ, EQ, dan SQ secara maksimal karna ketiga kecerdasan ini adalah perangkat yang bekerja dalam satu sistem yang saling terkait dalam diri manusia yang tidak dapat dipisahkan secara fungsinya.











BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dengan teori diatas sudah sangat jelas bahwa manusia merupakan makhluk yang sangat sempurna atas ciptaan Tuhannya karena merupakan satu-satunya makhluk yang mempunyai IQ, EQ dan SQ. Ketiga komponen tersebut tidak dapat dipisahkan meskipun perkembangannya berbeda-beda dan mempunyai proporsi yang berbeda, sehingga terkadang terjadi ketidak seimbangan dalam kecerdasan seseorang, hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor baik intern ataupu ekstern. Sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan ketiga komponen tersebut melalui berbagai kegiatan.
B.       Saran
Dengan mengucap syukur alhamdulillah pada Allah SWT, kami dapat  menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tentunya masih banyak kekurangan. Oleh  karena itu kami masih memerlukan kritik dan saran yang membangun serta bimbingan, terutama dari Dosen.  Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi kami sebagai penyusun.











DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Munandir, Ensiklopedia Pendidikan, Malang: UM Press, 2001.
Doe, Mimi dan Marsha Walch, 10 Prinsip Spiritual Parenting: Bagaimana Menumbuhkan dan Merawat Sukma Anak Anda, Bandung: Kaifa, 2001.
Zohar, Danah dan Ian Marshal, SQ Kecerdasan Spiritual, Bandun: Mizan, 2001.
Suharsono, Melejitkan IQ, IE dan IS, Depok: Inisiasi Press, 2004.
www. Psikologizone.com



[1] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet. 10, hlm.100.
[2] www.psikologizone.com                                                                                 
[3]Munandir, Ensiklopedia Pendidikan, (Malang: UM Press, 2001), hlm. 122.
[4]Mimi Doe, 10 Prinsip Spiritual Parenting: Bagaimana Menumbuhkan dan Merawat Sukma Anak Anda (Bandung: Kaifa, 2001), hlm. 20
[5]Danah Zohar , SQ Kecerdasan Spiritual, (Bandung:Mizan, 2001), hlm. 3-5
[6]Suharsono, Melejitkan IQ, IE, dan IS (Depok: Inisiasi Press, 2004), hlm. 145-147
[7]Ibid., 148-149.
[8]Ibid., hlm. 14-15

Tidak ada komentar: