MAKALAH MATERI PAI 2 (MUAMALAH)
ISTISHNA’
Disusun dalamrangka memenuhi tugas mata kuliahMateri PAI 2 (Muamalah)
Diampu oleh Bapak Gufron Effendi
Mustofa,M.Pd.I
Kelompok 8
1.
Fitrotun Nahdiyah
2.
Desi Wahyuni
3.
Amin Alifatuloh
Semester
: III
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
SAINS AL-QUR’AN
DI
WONOSOBO
2014
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT,karena
berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Istishna’. Makalah ini di ajukan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Materi PAI 2 (Muamalah).
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada :
Bapak Dosen Mata Kuliah
Materi PAI 2 (Muamalah)., Gufron Effendi Mustofa,M.Pd.I, yang telah memberikan
izin untuk menyusun makalah ini.
Rekan-rekan yang
telah banyak membantu dan memberi saran sehingga makalah ini terselesaikan.
Makalah ini tentu masih banyak kesalahannya,untuk itu penulis memohon
kritik dan saran yang membangun.
Akhir kata penulis
berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Wassalamu.alaikum Wr.wb
Wonosobo, 27
Oktober 2014
|
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................ 1
DAFTAR
ISI........................................................................................................... 2
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................... 3
A.
Latar Belakang............................................................................................. 3
B.
Rumusan Masalah........................................................................................ 3
C.
Tujuan.......................................................................................................... 3
BAB II
PEMBAHASAN....................................................................................... 4
A.
Pengertian..................................................................................................... 4
B.
............................................................................................................... 4
C.
............................................................................................................... 5
D. ............................................................................................................... 6
E. ............................................................................................................... 8
BAB III
PENUTUP................................................................................................ 9
A.
Kesimpulan.................................................................................................. 9
B.
Saran............................................................................................................ 9
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................. 10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam Islam, ada
beberapa bentuk atau macam dalam akad jual beli, salah satunya adalah
istishna’. istishna’ merupakan transaksi penjualan antara penjual dengan
pembeli, dimana dalam kontrak ini pembuat barang menerima pesanan dari pembeli
dan berusaha unutk mendatangkan barang sesuai dengan spesifikasi yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak. Dan mengenai pembayaran, kedua pihak sepakat
atas harga dapat dilakukan dimuka, dicicil, atau ditangguh untuk masa tertenu.
Dalam pelaksanaannya, istishna’ ini tidak ada dalil yang jelas tentang halal
ataukah haram dilakukakan. Maka dari itu, dalam makalah ini kami akan mencoba
memaparkan lebih lanjut mengenai istishna’ ini.
B. Rumusan Masalah
a.
Apa pengertian Isthisna’?
b.
Apa saja Rukun dalam Istishna’?
c.
Apa saja syarat-syarat dalam Istishna’?
d.
Bagaimana Hukum dalam Istishna’?
C.
Tujuan Penulisan
a.
Mengetahui tentang istishna’
b.
menambah wawasan
tentang muamalah
c.
Menjabarkan dasar hukum yang melandasi istishna’.
d.
Menyebutkan rukun dan syarat melakukan istshna’.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Lafal istishna’ berasala
dari akar kata shana’a ( صنع)
ditambah alif, sin, dan ta’ menjadi istisna’a ( استصنع)
yang artinya : “meminta untuk dibuatkan sesuatu” ,
sedangkan menurut bahasa defenisi istishna’ adalah suatu akad beserta
seorang produsen untuk mengerjakan sesuatu yang dinyatakan dalam perjanjian ;
yakni akad untuk membeli sesuatu yang dibuat oleh seorang produsen dan barang
serta pekerjaan dari pihak produsen tersebut.”
Dari definisi diatas bahwa akad Istishna
adalah akad yang mengandung tuntutan atau permintaan agar Shani ‘(produsen)membuatkan suatu barang (pesanan) dari mustashni’(pesanan) dengan ciri-ciri dan
harga tertentu. Dalam istihna ‘bahan baku/ modal pembuatanya dari pihak
produsen.Sedangkan konsumen adalah pemesan barang denga ciri, bahan, bentuk, jumlah,
jenis dan lain-lain yang sesuai dengan apa yang di kehendakinya. Dalam hal
mewujudkan barang atas pesanan konsumen,produsen(shani) memproduknya sesuai
dengan kehendak mushtasni tersebut. Maka
dalam Istishna’ sangat mungkin terjadi barang tersebut tidak ada dalam pasaran
atau setidak-tidaknya memiliki ciri-ciri tertentu di banding dengan
barang-barang yang ada di pasaran.
Ulama Madzhab Hanafi mengatakan bahwa akad
istishna’merupakan akad jual beli bukan
ijarah (upah mengupah atau sewa menyewa)
Oleh sebab itu menurut mereka objek akad dan kerja dibebankan kepada Shani’(produsen) dan harga barang bisa
di bayar kemudian. Apabila di syaratkan bagi Shani’ hanya bekerja saja dan barang baku dari konsumen, maka akad
ini tidak lagi di sebut akad istishna
tetapi berubah menjadi akad ijarah.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hukum Istishna’ merupakan jenis khusus dari
akad salam (akad jual beli pesanan),sehingga syarat-syaratnya sama dengan
syarat-syarat yang berlaku dalam hukum harus di sepakati pada waktu akad
di sepakati dan tenggang waktu penyerahan
barang harus jelas.Dengan demikian dalam akad istishna’bahan dan kerja dari
produsen ,sedangkan konsumen hanya memesan sesuai kehendaknya.
B.
Rukun Istishna’
Akad Istishna di pandang syah apabila
memenuhi rukun istishna’di antaranya :
1)
Shani’ (produsen/pembuat)
2)
Mustashni’(pemesan/pembeli)
3)
Mashnu’(barang yang di pesan)
4)
Ra’al-maj(harga/modal yang di bayarkan)
5)
Shighat ijab qobul(ucapan serah trima).
C.
Syarat Istishna’
Sebagaimana
di singgung di depan,bahwa ulama fiqih menyatakan bahwa akad isishna’ merupakan
akad yang mengandung unsur spikulasi dam hukiumnya di perselisihkan,sebab pada
dasarnya akad ini tidak sejalan dengan prinsip dasar jual beli yang unsur
terpentinggnya ialah barang yang di perjual belikan harus ada .Sementara dalam
hukum istishn’ barang yangt di perjualbelikan di yakini masih akan ada.Untuk
menghindari munculnya spikulasi sebagai dampak dari belum adanya barang ketika
akad,ulama fiqih mengemukakan syarat-syarat istishna’yang ketat sebagai berikut
:
1.
Syarat yang terkait dengan Shani dan mustashnishani tidak mempumyai hak untuk khiyar ketika mustashni
(pemesan/pembeli) melihat barang yang di jual dan setuju atas barang yang di
pesan.Sementara mustashni di beri hak khiyar (kemudian meninggalkan pesanan)
jika shani di anggap tidak memenuhi sifat-sifat barang pesanan.Namun demikian
menurut Abu Yusuf,masing-masing dari
shani dan mushtashni tidak boleh melakukan khiyar dengan alasan dapat merugikan
shani.
2.
Syarat yang terkait dengan objek akad (mashnu) Objek akad harus di jelaskan
secara rinci,baik jenisnya,ukuranya,jumlahnya maupun sifat-sifatnya.persyaratan
ini untuk menghindari ketidak jelasan objek. Apabila salah satu unsur ini tidak
jelas, maka akadnya tidak syah.
D.
Perbedaan Akad Salam
dengan Akad Istishna’
Jumhur Ulama memandang bahwa akad Istishna’
merupakan bagian dari akad salam.Namun demikian akad istishna’mempunyai ciri
khas sendiri yang membedakanya dengan akad salam.Diantaranya adalah :
a)
Barang (Objek) yang di jual dalam akad salam
adalah berbentuk’’utang’’ yang wajib di selesaikan dan objek itu sejenis barang
yang ada contohnya di pasar.Tetapi dalam istishna barang yang di pesan adalah
materinya yang contohnya tidak ada di pasar dan sekalipun ada tetapi tidak
sama.Namun demikian jumhur ulama tidak membedakan objek istishna ini.
b)
Dalam salam,jumhur ulama mensyaratkan harus
ada jangka waktu antara akad dan penerimaan barang yang di pesan,kecuali
menurut mahzhab syafi’i.Sementara dalam istishna tidak boleh ada jangka waktu.
c)
Dalam salam, akad besrsifat
mengikat,masing-masing pihak tidak boleh membatalkan akad sepihak.Sedangkan
dalam akad istishna’ akad tidak bersifat mengikat masing-masing yang berakad
boleh membatalkan secara sepihak.
d) Dalam akad salam ra’s al-mal harus
di serahkan seluruhnya di waktu terjadinya transaksi.Sementara dalam akad
ustishna’boleh menyerahkan ra’s al-mal sebagian atau tidak sama sekali di waktu
terjadinya akad. Dan inilah yang menjadi perbedaan mendasar antara keduanya.
E.
Dasar Hukum Istishna’
Dalam menentukan hukum akad istishna’ Ulama’ fiqh berbeda pendapat. Di
kalangan Ulama’ Hanafi sendiri terdapat dua pendapat. Sebagian berpendapat
bahwa, jika akada ini didasarkan pada dalil qiyas (analogi) kepada jual beli,
maka akad istishna’ dianggap tidak syah, sebab obyek jual beli belum ada. Hal
ini masuk dalam kategori jual beli beli
ma’dum (jual beli yang objeknya belum ada) yang dilarang oleh Rasulullah SAW.
Namun sebagian Ulama’ Hanafi melihat bahwa istishna’ didasarkan pada dalil
istihsan (berpaling dari kehendak qiyas, karena kemaslahatan yang kuat menjadi
alasan pemalingan ini). maka untuk kemaslahatan orang banyak akad ini
dibolehkan.
Sebagian ulama’ syafi’iyah
berpegangan pada kaidah qiyas. Maka, istishna’ tidak diperbolehkan sebab
bertentangan dengan kaidah umum yang berlaku dalam jual beli, di mana obyek
akad belum ada. Sehingga di sini dimungkinkan munculnya unsur spekulasi.
Menurut sebagian dari mereka, dasar hukum dari istishna’ adalah adat kebiasaan
yang telah berlaku dalam masyarakat. Masyarakat sudah menjadikaan istishna’
sebagai salah satu model transaksi mereka, dan akad ini sudah menjadi salah
satu kebutuhan masyarakat.
Sedang ahli fiqh kontemporer
berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ hukumnya syah atas dasar qiyas dan aturan
umum syari’ah. Mereka berpandangan bahwa akad istishna’ termasuk jual beli
biasa, di mana penjual meiliki kemampuan menyediakan barang saat penyerahan.
Kemungkinan terjadinya perselisihan kualitas barang dapat diminimalisir dengan
kesepakatan kriteria, ukuran, bahan material pembuatan barang dan lain-lain.
Sehingga unsur spekulasi yang dimungkinkan muncul akan dapat dihindari. Apa
lagi dalam akad ini, juga diberlakukan beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa kebolehan akad istishna’
bukan atas dasar dalil nash suci al-Qur’an maupun nash al-hadist akan tetapi
ijtihad Ulama’ fiqh. Atas dasar istihsan, Ulama Hanafi menyetujui istishna’
dengan alasan sebagai berikut:
a.
Masyarakat telah mempraktekan bai’ al-istishna’ secara luas dan terus
menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Dalam hal ini makaakda istishna’ sudah
menjadi konsensus masyarakat.
b.
Dalil Qiyas (dalam hal ini ia menjadi dasar ketidak bolean istishna’),
dapat tidak dipakai jika ada alasan kuat ada ada ijma’ yang menyatakan
demikian.
c.
Keberadaan bai’ al-istishna’ didasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak
orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka
cenderung memerlukan kontrak agar orang lain membuatkan barang sesuai dengan
selera mereka.
d.
Bai’ al-istishna’ secara umum tidak mengingkari aturan kontrak. Maka ia
dipandang syah selama tidak bertentangan dengan naash atau aturan umum syari’ah
.
F. Hakekat akad istishna’
Ulama mazhab Hanafi
berbeda pendapat tentang hakekat akad istishna' ini. Sebagian menganggapnya
sebagai akad jual-beli barang yang disertai dengan syarat pengolahan barang
yang dibeli, atau gabungan dari akad salam dan jual-beli jasa (ijarah).
Sebagian lainnya menganggap sebagai 2 akad, yaitu akad ijarah dan akad jual
beli. Pada awal akad istishna', akadnya adalah akad ijarah (jualjasa). Setealh
barang jadi dan pihak kedua selesai dari pekerjaan memproduksi barang yang di
pesan, akadnya berubah menjadi akad jual beli.
Nampaknya pendapat pertama
lebih selaras dengan fakta akad istishna'. Karena pihak 1 yaitu pemesan dan
pihak 2 yaitu produsen hanya melakukan sekali akad. Dan pada akad itu, pemesan
menyatakan kesiapannya membeli barang-barang yang dimiliki oleh produsen,
dengan syarat ia mengolahnya terlebih dahulu menjadi barang olahan yang
diingikan oleh pemesan.
G. Hal-Hal Terkait Istishna’
a. Penetapan
Waktu Penyerahan Istishna'
Ada tiga pendapat di dalam mazhab Hanafi yang berhubungan dengan
penetapan tanggal penyerahan mashnu;
· Imam Abu Hanifah menolak
penetapan tanggal pada masa yang akan datang untuk penyerahan mashnu' Jika
suatu tanggal ditetapkan, maka kontrak berubah menjadi bai' as salam karena ini
merupakan ciri dari akad yang mengikat seperti bai'as salam bukan ciri bai' al
istishna’ yang terbuka atas pilihan-pilihan.
· Abu
Yusuf dan Muhammad bin Al Hassan Asy Syaibani, dua murid dan sahabat Abu
Hanifah menerima syarat penetapan tanggal pada masa yang akan datang
Alasannya, orang-orang telah mempraktekkan istishna' dengan cara seperti itu.
· Tetapi
Abu Hanifah dan kedua sahabatnya bersepakat jika tanggal penyerahan dalam suatu
akad istishna’ ditetapkan, dan tidak sesuai dengan apa yang lazimnya
dipraktekkan, maka akad bai’ al istishna‘ tersebut berubah menjadi akad bai as
salam.
b. Konsekuensi
Akad Istishna'
Imam Abu
Hanifah dan kebanyakan pengikutnya menggolongkan akad istishna' ke dalam jenis
akad yang tidak mengikat. Dengan demikian, sebelum barang diserahkan keduanya
berhak untuk mengundurkan diri akad istishna'; produsen berhak menjual barang
hasil produksinya kepada orang lain, sebagaimana pemesan berhak untuk
membatalkan pesanannya.
Sedangkan
Abu Yusuf murid Abu Hanifah, memilih untuk berbeda pendapat dengan gurunya.
Beliau menganggap akad istishna' sebagai salah satu akad yang mengikat. Dengan
demikian, bila telah jatuh tempo penyerahan barang, dan produsen berhasil
membuatkan barang sesuai dengna pesanan, maka tidak ada hak bagi pemesan untuk
mengundurkan diri dari pesanannya. Sebagaimana produsen tidak berhak untuk
menjual hasil produksinya kepada orang lain.
Menurut
penulis, pendapat Abu Yusuf inilah yang lebih kuat, karena kedua belah pihak
telah terikat janji dengan saudaranya. Bila demikian, maka keduanya
berkewajiban untuk memenuhi perjanjiannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
المُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوطِهِمْ. رواه أبو داود والحاكم والبيهقي وصححه
الألباني
"Kaum
muslimin senantiasa memenuhi persyaratan mereka."
( Hadis Riwayat Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqy dan dinyatakan
sebagai hadits shahih oleh Al Albany )
c. Penghentian
Kontrak Ba’i al Istishna'
Kontrak ba'i
al istishna' bisa dihentikan berdasarkan kondisi- kondisi berikut ini:
1. Dipenuhinya
kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak.
2. Persetujuan
bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kontrak.
3. Pembatalan
hukum kontrak. Ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk mencegah
dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan masing-masing pihak bisa
menuntut pembatalannya.
H. istishna’ Pararel
Dalam
sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat
menggunakan subkontrakator untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan
demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi
kewajibannya kepada kontrak pertama. Kontrak baru ini di kenal sebagai
istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat di lakukan dengan syarat:
(a) akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama
antara bank dan pembeli akhir dan
(b) akad kedua di lakukan setelah akad pertama sah.
Ada beberapa konsekuensi saat
bank Islam menggunakan kontrak pararel. Diantaranya sebagai berikut.
- Bank
Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak
yang bertanggung jawab terhadap pelaksaaan kewajibannya. Istishna’ pararel
atau subkontrak untuk sementara harus di anggap tidak ada. Dengan demikian
sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas
setiap kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak yang berasal dari
kontrak pararel.
- Penerima
subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel bertanggung jawab terhadap
Bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara
langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua
merupakan kontrak pararel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk
kontrak pertama. Dengan demikian kedua kontraktersebut tidak memunyai
kaitan hukum samasekali.
- Bank
sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang,
bertanggungjawab kepada nasabah atas pelaksanaan subkontraktor dan jaminan
yang timbul darinya. Kewjiban inilah yang membenarkankeabsahan istishna’
pararel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Istishna’ adalah akad jual beli
pesanan dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggung jawab pihak
produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.
Rukun dan syarat istishna’ mengikuti bai’
as-salam. Hanya saja pada bai’ al-istishna’ pembayaran
tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan waktu
tertentu penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang pada umumnya.
B.
Saran
Dengan mengucap syukur alhamdulillah
pada Allah SWT, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan
tentunya masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kami masih memerlukan
kritik dan saran yang membangun serta bimbingan, terutama dari Dosen.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi kami sebagai penyusun.
DAFTAR PUSTAKA
Muslich, Drs. H. Ahmad Wardi, Fiqh Muamalah, Jakarta : Amzah, 2010
al-Jazirah,
Abd, al-fiqh ala Madzahabi al-arba’ah,
Beirut: Daat al-Qalam, tt
Antonio,
Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari
Teorike Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001
al-Kasani,
Alauddin, Bada’i al-Shana’i, Cet.I,
Beiut: Dar al-Kutub, 1997
http://fachmieloebiez.blogspot.com/2013/05/istishna-fiqh-muamalah.html